MERAIH KEBAHAGIAAN
Write to get a peace
KONSEP BAHAGIA
Aku
begitu tertarik dengan kehidupan SMA-ku. Di masa ini, aku mengalami banyak hal
dan pengalaman-pengalaman baru yang menarik. Aku mulai mengetahui apa yang
sesungguhnya menjadi passion-ku meski
aku masih bingung dan dalam masa pencarian. Di masa pencarian ini lah aku
merasa tertantang seperti, “apa ya keinginanku? Aku ingin menjadi apa, seperti
apa, dan bagaimana aku nantinya?”. Aku juga mulai bingung menentukan
universitas karena aku suka dengan banyak hal. Tapi aku begitu menikmati
kebingungan ini. Aku mulai mencari-cari apa yang cocok denganku dengan bertanya
kepada diri sendiri apa yang aku mau. Aku juga suka sekali ketika berdiskusi
dengan teman-temanku. Kami bertukar pendapat dan saling menceritakan apa yang
kami inginkan, mimpi-mimpi, dan sebagainya.
Di
kehidupan SMA, aku tidak memiliki banyak teman seperti masa SMP-ku. Aku merasa
aku harus lebih selektif karena hakikat teman bukan hanya tentang seseorang
yang kita kenal, bermain dengan kita, dan sebagainya. Teman lebih dari itu.
Lingkungan pertemanan bisa berpengaruh sangat kuat terhadap pribadi kita. Ada
banyak sekali kasus yang menjelaskan bahwa lingkungan pertemanan dapat mengubah
hidup seseorang. Jika lingkungan pertemanannya buruk dan berisi teman-teman
yang kegiatannya selalu menjurus pada kemaksiatan, tentu saja sangat mungkin bagi
kita untuk terjerumus dan menjadi seperti mereka. Sebaliknya, jika pertemanan
kita baik, kita akan ikut-ikutan baik. Dan saat ini, kebanyakan dari temanku
adalah orang yang menyukai pembahasan terkait manusia. Maksudnya, kami membahas
apa pun yang terjadi pada manusia seperti sejarah, hubungan kemasyarakatan,
topik-topik kriminal terkini, dan seterusnya. Kami seringkali berdiskusi
tentang hal-hal tersebut. Tidak jarang kami saling bercerita tentang buku yang
sedang kami baca dan mengkaji puisi klasik yang penuh makna. Kupikir
pertemananku yang seperti ini sangat positif.
Aku
begitu sibuk dengan diriku, lingkungan pertemananku, buku-buku yang kubaca,
tugas sekolah yang menantang, dan berbagai lomba akademik yang kuikuti sehingga
terkadang aku berpikir, apakah aku tidak membutuhkan pacar atau seseorang untuk
dicintai dan mencintai? Aku terlalu sibuk dengan diri sendiri hingga sulit
untuk berpikir demikian. Memang benar aku sangat membutuhkan seseorang untuk
cerita perihal kegagalanku di sekolah, problematikaku dengan keluarga,
pusingnya diriku dalam membagi jadwal antara organisasi dengan kegiatan
mengenai prestasi akademik, dan sebagainya. Tapi aku bisa bercerita kepada
teman-temanku sehingga aku tidak perlu pacar. Kadangkala memang ada teman yang
berkata kepadaku, “kayaknya kamu butuh pacar deh”. Tapi aku merasa aku tidak
butuh itu. Lagipula untuk apa? Untuk apa kita butuh pacar kalau kita sudah
merasa bahagia dengan kehidupan kita yang sekarang? Tidak usah melakukan
tuntutan-tuntutan yang sesungguhnya kita sendiri tidak mau melakukannya.
Lagipula perihal percintaan tidak sesepele itu. Cinta adalah sesuatu yang dalam
dan tidak bisa dipermainkan.
Tapi,
benarkah aku sudah bahagia? Memangnya apa sih bahagia itu?
Muncul
lagi satu pertanyaan yang mengusik diriku. Sebenarnya pertanyaan ini aku
dapatkan saat pelajaran Kewarganegaraan tempo hari. Guru menjelaskan tentang
sejarah kemerdekaan negara dan pembahasan melebar ke mana-mana hingga guru itu
bertanya kepada seluruh murid di kelas, “apakah kalian bahagia?”.
Aku
menjawab, “tentu saja aku bahagia”. Aku menjalani hari-hariku dengan senang,
semangat, dan penuh antusias. Sehingga aku menyimpulkan kalau aku bahagia. Tapi
apakah benar seperti inikah rasa bahagia? Aku menjadi ragu dengan jawabanku dan
mulai menggali makna dari kebahagiaan. Aku seringkali menemukan kata-kata
bahagia dalam keseharian dan tidak pernah menggali lebih dalam makna dari kata
ini. Orang-orang yang kukenal juga banyak menyebut kata bahagia, seperti di
status media sosialnya; bahagia itu sederhana. Bahagia itu tidak rumit. Bahagia
itu tidak mahal. Bahagia itu...
Ada
banyak sekali definisi dari bahagia. Lantas, apa definisi bahagia menurutku
sendiri?
Kalau
dalam bukunya Mark Manson yang berjudul Seni untuk Bersikap Bodo Amat, aku
menemukan opini bahwa bahagia bukanlah keadaan di mana kita tidak memiliki masalah.
Justru bahagia didapat ketika kita berhasil memecahkan masalah-masalah yang
datang menghampiri kita. Menyadari hal ini, aku berpikir tentang kehidupanku.
Ya, benar sih bahagia bisa saja begitu. Tapi tidak semuanya berasal dari
memecahkan masalah juga. Beberapa kali aku bahagia karena hal yang begitu
kecil. Seperti mencium aroma kertas dari buku baru—buku lama juga enak banget!
Terlepas
dari semua kebingunganku terhadap definisi dari bahagia, sebaiknya aku tidak
terlalu memusingkan hal ini karena kebahagiaan bukanlah untuk didefiniskan,
tapi untuk diciptakan. Aku menciptakan bahagiaku dan aku bahagia.
Aku
bangun subuh dan duduk di balkon sehingga bisa melihat matahari terbit, aku
bahagia. Aku berangkat sekolah dengan persiapan matang dan siap bertemu dengan
ilmu-ilmu baru, aku bahagia. Aku berdiskusi dengan sahabatku perihal alam
semesta dan segala hal tentangnya, aku bahagia. aku pergi ke perpustakaan dan
menghirup bau kertas, aku bahagia. Aku makan brokoli goreng, aku bahagia. Aku
pulang sekolah pada senja hari dan melihat matahari terbenam, aku bahagia. Aku
menulis sebuah dongeng tentang gadis kecil dan bunga edelweisnya, aku bahagia.
Aku melihat bulan dan bintang-bintang dan memandangnya lama, aku bahagia. Aku
terlelap dalam mimpi-mimpi besar yang harus kuraih dan perjuangkan, aku
bahagia.
Meski
terkadang masalah datang silih berganti dan kesedihan selalu mengiringi, jika
aku bisa mengendalikannya, aku akan merasa bahagia.
Jadi,
bagiku bahagia adalah tentang bagaimana cara kita menjalani dan memandang
kehidupan.
Comments