HOW TO LIFE PEACEFULLY
Setiap
kali aku merasa sedih, kacau, dan kepala penuh dengan hal-hal menyesakkan, aku
bisanya merenung lama dengan memandangi hal-hal yang bergerak pelan. Seperti
memandangi kuncup bunga sampai bunga tersebut mekar dengan sempurna. Atau
memandangi awan-awan dan berimajinasi tentang bentuk awan tersebut. Biar tidak
seperti permen kapas semuanya. Terkadang juga menebak, kira-kira awan tersebut
sudah berkelana dari mana saja dan akan menuju mana? Plus kapan dan di mana
awan tersebut menurunkan hujannya. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan sederhana
plus tidak terjawab begitu membantuku untuk mengalihkan perhatian dari
keduniawian yang memusingkan. Merenung adalah bentuk pelarianku yang paling
sederhana. Tapi, terkadang merenung itu bukan cuma tentang melarikan diri, namun
juga cara untuk menyelesaikan. Karena saat hati kembali baik, permasalahan yang
sebelumnya seperti benang kusut, perlahan-lahan dapat diuraikan. Yang
terpenting adalah hati dan pikiran yang tenang.
Selain
metode merenung, aku juga sering menulis segala uneg-uneg yang ada di kepala.
Rasanya, aku butuh mengeluarkannya. Ya, contohnya seperti sekarang ini. Menulis
blog pribadi. Atau dengan menulis di diary. Tapi belakangan ini, aku lebih
banyak mengetik daripada menulis. Selain hemat tinta, aku males capek juga untuk
menggerakkan tanganku sambil memegang pena. Jadinya, mengetik di laptop adalah
pilihan paling sempurna.
Aku
pernah melihat di Instagram dan Youtube tentang journaling. Di aktivitas menjurnal tersebut, biasanya kita bukan
hanya menulis, tapi juga menggambar, menambah ornamen-ornamen seperti stiker
dan kertas coklat yang estetik, dan sebagainya. Kurasa ini bagus banget buat self-healing, tapi masalahnya memerlukan
waktu cukup lama. Bisa berjam-jam habis cuma buat menulis jurnal. Tidak
apa-apa, sih, sebenarnya. Tapi bagiku, kelamaan. Kata-kata yang tertuliskan pun
enggak bisa banyak-banyak. Cuma intinya saja, terus kertas bagian lain diisi
dengan gambar dan ornamen lainnya. Pokoknya, mengetik di laptop paling juara,
deh.
Sekarang,
aku sedang mencoba menjalani hidup dengan lebih pelan-pelan yang ternyata nyaman
banget. Kita bisa memaknai bagaimana menikmati proses. Sebelumnya aku bosan
banget mendengar kalimat-kalimat klise yang dilontarkan orang kepadaku,
“nikmati aja prosesnya”. Emangnya gimana cara menikmatinya? Jawabannya baru
kutemukan sekarang—yang sebenarnya beberapa sudah kulakukan sebelumnya, yaitu
dengan menjalani hidup secara lebih pelan.
Menjalani
kehidupan dengan pelan-pelan itu sulit banget. Sebab dunia ini menuntut kita
untuk bergerak cepat. Apalagi dengan kebiasaan manusia yang ingin lebih baik
dari manusia lainnya. Makanya, banyak yang berlomba-lomba dengan cepat, lebih
cepat, dan tercepat. Rasanya seperti yang paling cepat itu yang paling terbaik.
Aku
juga begitu. Aku tidak bisa santai. Apa-apa harus dikerjakan dengan cepat. Dalilku,
biar cepat beres, begitu. Tapi, seringkali malah harus mengoreksi beberapa kali
karena ada beberapa yang salah. Ujung-ujungnya malah jadi stres karena
pekerjaan enggak kunjung selesai. Yang paling baik memang cepat dan
berkualitas, tapi menikmati dengan pelan-pelan itu juga seru.
Menurutku
begini, ya. Hidup itu sudah sangat singkat. Coba aja deh kita renungkan,
sekarang banyak banget orang yang mengatakan misalnya, “kayak baru aja lulus SMA,
eh, sekarang udah mau punya anak aja”. Beneran, setidakterasa itu. Kayak baru
kemarin aja. Hidup sangat singkat, lalu bagaimana kalau kita menambahi
kesingkatan itu dengan melakukan apa-apa secara cepat-cepat atau pun
terburu-buru? Apakah tidak semakin terasa wush
saja hidup kita?
Oleh
karena itu, aku mulai mengoreksi hidupku. Aku mulai menelaah, apa sih yang
kurang? Apa sih yang salah?
Jadi,
sekarang aku lebih menikmati prosesnya saja, yaitu dengan menjalani hidup
dengan pelan-pelan. Eits, pelan-pelan juga bukan berarti lelet, ya. Kadang juga
harus gerak cepat atau gercep. Kayak, ada kalanya kita jadi cheetah, ada kalanya juga jadi kura-kura. Adakalanya melompat-lompat
lincah seperti lumba-lumba, adakalanya juga tenang seperti ubur-ubur. Kita harus
bisa menempatkan diri kita sesuai dengan kondisi.
Selain
tentang menjalani hidup dengan pelan-pelan, aku juga terus menerus belajar
untuk ikhlas. Sumpah, ikhlas dengan sesungguhnya ikhlas itu sulit banget. Yang
namanya ego atau keakuan seringkali menolak untuk ikhlas karena aku merasa ada
hakku yang direnggut atau diambil. Aku juga sering tidak ikhlas dan sering
menanyakan, kok hidupku kayak gini, sih? Ujung-ujungnya malah seperti apa yang
kita sering sebut dengan insecure. Akhirnya
jadi kurang bersyukur.
Obatnya,
setelah aku cari, ternyata sangat sederhana. Yaitu kembali ke Tuhan. Maksudnya
ya bukan meninggal dunia dan kembali ke hadiratnya, tapi mengembalikan segala
urusan hati kepada Tuhan. Misalkan, nih, ya, tiba-tiba crush-kita yang kita sayangi dan kita sudah dekat lama sama dia, suatu
hari tiba-tiba dia meninggalkan kita. Kita bakalan mikir, dia itu sudah milik
kita, seharusnya tetap ke kita, dan tidak meninggalkan kita (padahal cuma crush, sad banget hehe). Kita bakalan
merasa sangat galau, sedih, uring-ruingan, dan tidak semangat dalam menjalani
hari. Lalu, ada nih, sebuah cahaya tiba-tiba datang dan cahaya tersebut begitu
terang. Nama cahaya itu ikhlas. Dengan adanya ikhlas, kita jadi bakalan
mikir, si dia tadi itu milik Allah, sang Pembolak balik hati. Meskipun doi udah
jadi milik kita, jadi pacar kita, tetap aja hatinya milik Allah. Kita harus
ikhlas kalau dia pergi. Karena sekali lagi, dia bukan milik kita. Tapi milik
Allah. Orang tubuh kita juga milik Allah, ya kan?
Coba
deh, kawan, kalau kita sedang gelisah, sedang carut marut, sedang temperamen,
sedang sedih, bahkan sedang bahagia pula, kita dekatkan diri ke Allah. Kita baca
Alquran, baca istigfar, baca sholawat nabi, terus lihat yang gerak pelan-pelan
(seperti kuncup bunga mekar dan awan tadi), insyallah hati jadi adem.
Masyaallah
dah, kok lama-lama aku jadi kayak ceramah gini.
Comments