HOW TO LIFE PEACEFULLY

Sumber gambar: http://pin.it/INLYr3k

Setiap kali aku merasa sedih, kacau, dan kepala penuh dengan hal-hal menyesakkan, aku bisanya merenung lama dengan memandangi hal-hal yang bergerak pelan. Seperti memandangi kuncup bunga sampai bunga tersebut mekar dengan sempurna. Atau memandangi awan-awan dan berimajinasi tentang bentuk awan tersebut. Biar tidak seperti permen kapas semuanya. Terkadang juga menebak, kira-kira awan tersebut sudah berkelana dari mana saja dan akan menuju mana? Plus kapan dan di mana awan tersebut menurunkan hujannya. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan sederhana plus tidak terjawab begitu membantuku untuk mengalihkan perhatian dari keduniawian yang memusingkan. Merenung adalah bentuk pelarianku yang paling sederhana. Tapi, terkadang merenung itu bukan cuma tentang melarikan diri, namun juga cara untuk menyelesaikan. Karena saat hati kembali baik, permasalahan yang sebelumnya seperti benang kusut, perlahan-lahan dapat diuraikan. Yang terpenting adalah hati dan pikiran yang tenang.

Selain metode merenung, aku juga sering menulis segala uneg-uneg yang ada di kepala. Rasanya, aku butuh mengeluarkannya. Ya, contohnya seperti sekarang ini. Menulis blog pribadi. Atau dengan menulis di diary. Tapi belakangan ini, aku lebih banyak mengetik daripada menulis. Selain hemat tinta, aku males capek juga untuk menggerakkan tanganku sambil memegang pena. Jadinya, mengetik di laptop adalah pilihan paling sempurna.

Aku pernah melihat di Instagram dan Youtube tentang journaling. Di aktivitas menjurnal tersebut, biasanya kita bukan hanya menulis, tapi juga menggambar, menambah ornamen-ornamen seperti stiker dan kertas coklat yang estetik, dan sebagainya. Kurasa ini bagus banget buat self-healing, tapi masalahnya memerlukan waktu cukup lama. Bisa berjam-jam habis cuma buat menulis jurnal. Tidak apa-apa, sih, sebenarnya. Tapi bagiku, kelamaan. Kata-kata yang tertuliskan pun enggak bisa banyak-banyak. Cuma intinya saja, terus kertas bagian lain diisi dengan gambar dan ornamen lainnya. Pokoknya, mengetik di laptop paling juara, deh.

Sekarang, aku sedang mencoba menjalani hidup dengan lebih pelan-pelan yang ternyata nyaman banget. Kita bisa memaknai bagaimana menikmati proses. Sebelumnya aku bosan banget mendengar kalimat-kalimat klise yang dilontarkan orang kepadaku, “nikmati aja prosesnya”. Emangnya gimana cara menikmatinya? Jawabannya baru kutemukan sekarang—yang sebenarnya beberapa sudah kulakukan sebelumnya, yaitu dengan menjalani hidup secara lebih pelan.

Menjalani kehidupan dengan pelan-pelan itu sulit banget. Sebab dunia ini menuntut kita untuk bergerak cepat. Apalagi dengan kebiasaan manusia yang ingin lebih baik dari manusia lainnya. Makanya, banyak yang berlomba-lomba dengan cepat, lebih cepat, dan tercepat. Rasanya seperti yang paling cepat itu yang paling terbaik.

Aku juga begitu. Aku tidak bisa santai. Apa-apa harus dikerjakan dengan cepat. Dalilku, biar cepat beres, begitu. Tapi, seringkali malah harus mengoreksi beberapa kali karena ada beberapa yang salah. Ujung-ujungnya malah jadi stres karena pekerjaan enggak kunjung selesai. Yang paling baik memang cepat dan berkualitas, tapi menikmati dengan pelan-pelan itu juga seru.

Menurutku begini, ya. Hidup itu sudah sangat singkat. Coba aja deh kita renungkan, sekarang banyak banget orang yang mengatakan misalnya, “kayak baru aja lulus SMA, eh, sekarang udah mau punya anak aja”. Beneran, setidakterasa itu. Kayak baru kemarin aja. Hidup sangat singkat, lalu bagaimana kalau kita menambahi kesingkatan itu dengan melakukan apa-apa secara cepat-cepat atau pun terburu-buru? Apakah tidak semakin terasa wush saja hidup kita?

Oleh karena itu, aku mulai mengoreksi hidupku. Aku mulai menelaah, apa sih yang kurang? Apa sih yang salah?

Jadi, sekarang aku lebih menikmati prosesnya saja, yaitu dengan menjalani hidup dengan pelan-pelan. Eits, pelan-pelan juga bukan berarti lelet, ya. Kadang juga harus gerak cepat atau gercep. Kayak, ada kalanya kita jadi cheetah,  ada kalanya juga jadi kura-kura. Adakalanya melompat-lompat lincah seperti lumba-lumba, adakalanya juga tenang seperti ubur-ubur. Kita harus bisa menempatkan diri kita sesuai dengan kondisi.

Selain tentang menjalani hidup dengan pelan-pelan, aku juga terus menerus belajar untuk ikhlas. Sumpah, ikhlas dengan sesungguhnya ikhlas itu sulit banget. Yang namanya ego atau keakuan seringkali menolak untuk ikhlas karena aku merasa ada hakku yang direnggut atau diambil. Aku juga sering tidak ikhlas dan sering menanyakan, kok hidupku kayak gini, sih? Ujung-ujungnya malah seperti apa yang kita sering sebut dengan insecure. Akhirnya jadi kurang bersyukur.

Obatnya, setelah aku cari, ternyata sangat sederhana. Yaitu kembali ke Tuhan. Maksudnya ya bukan meninggal dunia dan kembali ke hadiratnya, tapi mengembalikan segala urusan hati kepada Tuhan. Misalkan, nih, ya, tiba-tiba crush-kita yang kita sayangi dan kita sudah dekat lama sama dia, suatu hari tiba-tiba dia meninggalkan kita. Kita bakalan mikir, dia itu sudah milik kita, seharusnya tetap ke kita, dan tidak meninggalkan kita (padahal cuma crush, sad banget hehe). Kita bakalan merasa sangat galau, sedih, uring-ruingan, dan tidak semangat dalam menjalani hari. Lalu, ada nih, sebuah cahaya tiba-tiba datang dan cahaya tersebut begitu terang. Nama cahaya itu ikhlas. Dengan adanya ikhlas, kita jadi bakalan mikir, si dia tadi itu milik Allah, sang Pembolak balik hati. Meskipun doi udah jadi milik kita, jadi pacar kita, tetap aja hatinya milik Allah. Kita harus ikhlas kalau dia pergi. Karena sekali lagi, dia bukan milik kita. Tapi milik Allah. Orang tubuh kita juga milik Allah, ya kan?

Coba deh, kawan, kalau kita sedang gelisah, sedang carut marut, sedang temperamen, sedang sedih, bahkan sedang bahagia pula, kita dekatkan diri ke Allah. Kita baca Alquran, baca istigfar, baca sholawat nabi, terus lihat yang gerak pelan-pelan (seperti kuncup bunga mekar dan awan tadi), insyallah hati jadi adem.

Masyaallah dah, kok lama-lama aku jadi kayak ceramah gini.


Comments

Popular Posts