MY OPINION ABOUT CHILDFREE

MY OPINION ABOUT CHILDFREE

Hello comrades!

Sebenarnya aneh gak sih kalau masih berumur 18 tahun but already talk about childfree? Sepertinya tidak aneh-aneh juga karena walaupun masih 18 tahun, nanti aku juga akan dewasa, bukan? I will be married with someone, then we have to decide about caring children.

First of all, aku tahu tentang childfree ini dari Gitasav dan beberapa postingan feminism di Instagram maupun konten Youtube. Di situ, aku mendapatkan pengertian bahwa childfree adalah menikah tapi memutuskan untuk tidak memiliki anak. Hal ini agak bertentangan dengan kultur orang Indonesia yang masih menganggap bahwa menikah harus punya anak, anak pembawa kebahagiaan, anak pembawa rezeki, dan berbagai hal lainnya. Bahkan, kita masih sering mendengar ucapan orang-orang ketika hadir di pernikahan teman atau pun saudaranya; “semoga langgeng dan cepat diberi momongan.” Well, aku tidak setuju dengan doa yang terakhir karena siapa elu yang berani berharap keluarga orang lain cepet diberi momongan?

Kebanyakan pasangan nih ya, memutuskan memiliki anak karena merasa anak akan menjadi perekat hubungan orangtua, pembawa kebahagiaan, dan berbagai hal yang telah kusebutkan di paragraf sebelumnya. Aku agak oposisi dengan pendapat ini karena harapan-harapan tersebut terlalu membebankan anak. Orangtua membebankan anak agar anak tersebut memberikan kebahagiaan kepada mereka, mengubah nasib hidup mereka, menjadi kebanggaan, dan beragam tuntutan lain yang menurutku cukup egois. Anak tidak meminta untuk dilahirkan dan ketika orangtua memutuskan untuk melahirkan dan menghadirkan anak di dunia yang kejam ini, mereka malah menuntutnya dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang seharusnya mereka cari sendiri. Walaupun itu anak kita, bukannya tidak seharusnya manusia menuntut kebahagiaan mereka sendiri kepada manusia lain? Sounds weird.

Yang paling bikin geleng-geleng kepala tuh ketika beberapa teman-temanku curhat tentang keluarga mereka. Ada yang pilihan hidupnya ditentukan orangtua, ada yang gak boleh ini-itu, ada yang dituntut macam-macam, ada yang dibanding-bandingkan dengan anak oranglain yang lebih hebat (padahal tentu orangtua anak lain itu lebih hebat yak), ada yang korban broken home, dan sebagainya. Next, ini kebanyakan kasusnya berasal dari keluarga tradisional yang belum mendalami betul parenting. Tapi ada pula yang sudah menjadi keluarga modern dan mereka tetap menuntut anaknya untuk sukses…

Kasusnya, para orangtua memiliki permasalahan di belakang ketika mereka menuntut anak-anak untuk melakukan sesuatu yang mereka kehendaki. Entah keadaan finansial, mental, atau pengalaman masa kecil yang membuat mereka melampiaskannya kepada anak. For those my friends who have this problematics, please, survive dear. You can cope with this all. I’m here for youhhhhh….

Untuk keluargaku sendiri, aku benar-benar bersyukur karena tidak dituntut sebanyak itu. Orangtuaku memberiku banyak kebebasan dalam memilih (walaupun actually kalau dipilihin pun bakal berontak gak mau) dan as a result, aku merasa memiliki tanggungjawab yang amat besar untuk melakukan pilihan-pilihan besar dalam hidupku. Karena aku merasa kalau aku bahagia, kebahagiaannya akan nyiprat sana-sini ke keluarga dan orang-orang terdekatku. Aku percaya kalau perasaan itu ajaib dan seperti virus. Kalau kita sedang sedih, merengut, dan tidak mood, diamnya kita bisa membuat sekeliling kita merasa tidak enak. Begitu pun sebaliknya.

So, back to the topic! Dari basa-basi yang aku jelaskan sebelumnya, mungkin dapat kita ketahui salah satu alasan banyak pasangan di luar sana yang memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree, yaitu karena mereka tidak ingin melampiaskan kebahagiaan mereka dengan menuntut anak ini-itu. Alasan lainnya adalah karena dunia ini kejam dan kalau mereka menghadirkan anak di dunia seperti ini, takutnya anak itu akan menyalahkan mereka dengan kalimat yang berbunyi; kenapa sih dulu gue dilahirkan? Alasan lainnya seperti belum siap, keadaan iklim dan alam yang ‘tidak indah’ untuk disaksikan next generation, keadaan finansial yang belum mendukung, dan berbagai hal lainnya. Atau kata feminisme; “ini rahim-rahimku, terserah aku mau hamil atau tidak karena suamiku tidak merasakan pesakitan itu.”

Make sense. Somehow, I agree with that all. Malah kemarin aku kepikiran juga untuk childfree sebab aku merasa kalau I will be a very busy woman in my future and there is no time to have or caring for children. Apalagi setelah baca bukunya Dan Brown yang berjudul Inferno yang membuat otakku diresapi oleh malthusianism.

Hal tersebut bukan keputusan yang final. Bacaan dan tontonanku yang juga ada sisipan parenting membuatku memikirkan permasalahan ini secara lebih lanjut. Aku mendapatkan konklusi kalau menghadirkan anak di dunia ini somehow tidak semenyeramkan itu. Kalau dilihat dari pribadiku yang cukup optimistis, aku melihat kalau di dunia ini banyakkkk banget hal yang bisa dilihat dan dieksplor oleh anakku kelak. Kayak… ada banyak buku dan keajaiban kata yang bisa mereka konsumsi, ada bumi yang bisa mereka kelilingi, ada teman-teman yang bisa mereka ajak main, ada sejarah yang bisa mereka kulik, ada langit biru nan indah yang bisa mereka tatap—plus awan-awan yang bisa mereka beri nama, ada bunga-bunga yang bisa mereka petik dan ciumi baunya, dannn berbagai macam hal lainnya yang menurutku: wah ini comel untuk anak-anakku lakukan.

Imajinasiku untuk anak-anakku kelak, mungkin mereka akan menjadi objek pendengar dongeng-dongeng imajinerku. Mungkin mereka akan menjadi objek eksperimen switch bahasaku—aku ingin keluargaku memakai bahasa yang berbeda tiap minggu/bulannya. Mungkin anakku akan menjadi teman diskusi terkait isu sosial dan politik yang sedang terjadi. Mungkin aku bisa mendengar dongeng dan cerita yang mereka tuturkan sepulang sekolah. Mungkin aku bisa mengajak mereka membesarkan kelinci-kelinci lucu, kucing-kucing comel, anjing husky yang menggemaskan, hamster yang bisa diuyel-uyel and many more. Yang jelas, aku ingin anakku menjadi biasa saja dalam pendidikannya. Tidak menonjol tidak apa-apa. Kalau mau ambis juga poin plus, sih. But, I think mereka harus enjoying their time and life. Ja, toch?

So, that is my opinion about childfree. How about you, guys?

Comments

Popular Posts