BAHASAN RUMIT
TENTANG COWOK
Suatu hari aku bertemu
dengan sahabat lamaku dan berbincang-bincang tentang kehidupan masing-masing
selama tidak bertemu. Tak lama kemudian, pembahasan kami berujung ke tema
tentang cowok. Entah itu crush, pacar,
atau pun mantan. Seringkali ketika sahabatku tersebut curhat dan cerita segala
macam tentang kehidupan percintaannya, aku hanya menjadi pendengar yang baik.
Aku juga bingung bagaimana mau menanggapi. Ya sudah, aku cuma iya iya saja,
kadang juga bertanya balik. Maunya sih aku juga membagikan ceritaku, tapi aku
memilih untuk diam saja. Memangnya, mau bercerita bagaimana?
Selama ini, aku masih memilih
untuk menomor sekiankan urusan cinta-mencintai dan berfokus pada belajar,
belajar, dan belajar. I just want to
enrich my knowledge, not my love stories. Ada yang lebih penting dari
urusan cinta monyet. Ada yang lebih penting untuk diperjuangkan daripada itu.
Seringkali aku juga
merasa iri dengan ke-uwu-an orang
lain dan bagaimana mereka menjalin relationship
bersama pasangan. Saling berbagi cerita, saling mendukung, dan saling
menghibur kala salah satu mengalami kesedihan. Tapi aku mencoba realistis saja.
Aku belum siap untuk menerima orang lain, sebab aku masih dalam proses menerima
diriku sendiri. Aku masih dalam proses mencintai diri sendiri, menghargai diri
sendiri, dan masih sering ruwet dengan isi kepala sendiri. Lantas, bagaimana
aku bisa menerima orang lain untuk datang kalau masih seperti ini?
Apalagi dengan
kondisiku yang temperamen ini. Kecewa dikit, marah-marahnya sulit dihilangi.
Kalau level kecewanya tinggi, aku bahkan sering lemparin barang-barang yang ada
di sekitarku. Pernah juga nggebrak laptop sampai layarnya bergaris warna-warni
cuma karena panik. Aku takut kalau nanti pas dikecewain cowok aku bisa ngebunuh
doi. Nanti bisa dipenjara akunya, bos.
Sekarang, prosesku
untuk mencintai diri sendiri masih berjalan. Parahnya, proses ini berjalan
lambat sekali bahkan sering statis. Kendalanya bejibun. Entah pas ngaca aku
melihat wajahku yang bergerunjal seperti jalan menuju desaku, terus berujung insecure karena membandingkan diri
sendiri dengan selebgram. Bedanya jauh. Mana ketika aku sudah tahu wajahku
tidak glowing aku tetap mager
merawatnya, lagi. Kenapa untuk menjadi cantik perlu ribet bin ruwet sekali,
sih? Ya sudah, deh. Jadi, aku tetap saja seperti ini. Wajah apa adanya belum
tersentuh skincare. Ujung-ujungnya,
ketika aku disukai sama cowok cakep, salah satu alasanku untuk tidak mau sama
doi ya karena merasa jelek dan tidak pantas bersanding dengannya, huhu.
Permasalahanku lainnya
terkait fisik adalah tubuhku yang minimalis. Ya Tuhan, aku sering dikatain
cebol sama teman-teman. Sumpah ini menyakiti hatiku banget, gengs. Meskipun aku
haha-hihi pas dikatain, tapi ketika aku sendiri aku jadi sering mikir “ya Allah
emang pendek itu jelek, ya?”. So, untuk
kamu-kamu, stop body shaming ya gais.
Kembali lagi ke soal
cowok. Sebenarnya, kalau aku menemukan cowok yang se-frekuensi, seperti dia mau
menerima diriku yang temperamen, jelek, dan pendek, terus dia asik buat diajak
diskusi tentang kehidupan dan segala persoalan yang ada di dalamnya, terus dia
cakep, ditambah dia suka balik ke aku, ya ayo aja. Kita pacaran ya ayo.
Langsung nikah ya ayo (ini cuma bercanda, kawan. Sebab nikah itu tidak seindah
imajinasi kita).
Sayangnya, aku tidak
kunjung mendapatkan cowok seperti itu. Lagipula, pernah ada cowok dengan
kategori tersebut datang, akunya yang malah tidak siap—kembali ke persoalan
awal. Betapa plin-plannya diriku! Nah, ini nih. Masih ruwet sama pikiran
sendirinya yang belum hilang dan menghambat datangnya keuwuan.
Mending kita akhiri
saja my complex thoughts about love-nya,
dan membahas tentang cowok in general.
Aku suka gidik sama cowok yang nge-chat cewek dengan pertanyaan “lagi apa?
Sudah makan belum? Makan sama apa? Sudah mandi belum?”. Pertanyaan basa-basi
yang basi. Malas banget buat jawabnya. Kayak dari jutaan hal yang perlu
dibahas, kenapa harus menanyakan hal itu? Mending tidak usah chat sebulan
daripada pembahasannya membosankan gitu-gitu doang. Untukku, langsung skip aja
deh kalau dideketin cowok kayak gini.
Menurutku bakal jadi hal
yang menarik kalau pertanyaannya diganti kayak gini, “bagaimana harimu? Cerita
dulu, sini.” Terus diskusi panjang tentang permasahalan yang ada di hari itu.
Atau chat di malam hari dan pembahasannya tentang alam semesta. Deeptalk, membahas kehidupan di luar
bumi, membahas orang zaman dahulu kala, membahas cara hidup di neptunus,
membahas isu-isu sosial dan politik terkini, atau membahas masa depan. Kan, aku
jadi halu.
Bagusnya, pacaran itu
kita buat sebagai ajang berbagi isi pikiran, berbagi isi pendapat, bukan isinya
cuma bucin-bucin seperti saling sok peduli ke pasangan. Dan di masa pacaran,
kita juga harus memiliki semacam boundaries.
Maksudnya, ada privasi di mana kita tidak menceritakan atau memberitahu segala
hal tentang kita terhadap pasangan kita. Cuma permukaan-permukaannya aja gitu,
geng. Kan masih belum apa-apa. Cuma pacar doang.
Btw, aku pernah
dideketin sama cowok di mana aku merasa sangat ilfeel. Yah, Aku tahu saat kami chat di Whatsapp kebanyakan topik
yang kami bahas adalah perpolitikan, atau tema-tema yang seru untuk didebatkan.
Tapi, orang itu saat berdiskusi denganku bahasanya seperti menggurui. Sok pintar.
Menurutku, sih. Tapi yang jelas aku langsung tidak suka. Mana dia terlalu
blak-blakan saat bilang dia suka sama aku. Jadi, skip.
Kadang aku mikir, gais.
Aku terlalu pilah pilih soal cowok, tapi apakah aku sudah memperbaiki diri? Belum
sama sekali. Tapi buat apa memperbaiki diri cuma untuk mendapatkan cowok yang
baik? Aku mau berubah atau memperbaiki diri cuma untuk diriku sendiri. Enak aja
buat cowok.
So, kita akhiri aja deh
pembahasan kali ini karena aku sudah kehabisan topik untuk dibahas. Aku tidak
handal dalam topik ini. Aku juga belum banyak observe ke banyak cowok. Mungkin lain kali bisa aku teruskan
pembahasan ini ketika aku sudah memiliki pengalaman baru?
Oh, iya. Beberapa minggu
ini ada istilah baru yang disebut fakboi dan fakgirl. Istilah itu disebutkan
untuk cowok atau cewek yang dekat ke banyak lawan jenisnya sekaligus. Menurutku,
apa salahnya? Kalau belum sreg ya gapapa. Deketin semua orang, terus milih yang
terbaik di antara mereka. Tapi, tetap harus ada boundaries-nya. Jangan semuanya di “I love you”-in. Sebatas teman saja dan jangan sampai kita jadi seperti
murahan karena ini.
Semua ini cuma pendapat
dan pemikiran yang ada di kepalaku, sih. Soalnya aku gak pernah pacaran dan
mengalami experience with someone I love.
Tapi menarik aja gitu untuk dibahas. Apalagi di masa remaja seperti aku
sekarang ini, kita sudah dihadapi oleh masalah first love yang rumit seperti benang kusut.
Comments