DEEPTALK: MENJADI BEGO
Write to Remember
MENJADI BEGO
Malam
itu, aku duduk di balkon kamar kos bersama temanku. Kami menyalakan sebuah
lilin dan meletakkannya di tengah-tengah kami. Tidak, kami tidak sedang menjalankan
ritual tertentu. Saat ini sedang pemadaman listrik sehingga aku dan temanku itu
duduk di balkon depan kamar dan berbincang-bincang. Langit sedang cerah malam
itu. Bintang-bintang berhamburan dan bulan bersinar dengan terangnya.
“Wifi
mati ya? Mana ga ada kuota lagi,” ucap temanku.
“Yash!
Jadi gini ya rasanya kembali primitif.”
Lalu
kami berbincang-bincang lama tentang nenek moyang dahulu kala. Yang hidup tanpa
lampu, yang cuma mengandalkan api sebagai penerangan. Tapi dengan itulah mereka
bisa saling gotong royong untuk mengalahkan rasa takut, untuk menghindari
ancaman-ancaman dari luar. Namun, kemudian Edison muncul dengan penemuan
lampunya dan tidak lama kemudian dunia menjadi terang benderang sepanjang
waktu.
Fenomena perkembangan teknologi juga semakin pesat setiap waktunya. Telepon yang mempermudah komunikasi, internet yang mempermudah memperoleh informasi, dan lain sebagainya. Namun, aku dan temanku menemukan sebuah fakta yang juga terjadi pada diri kami berdua. Yaitu kenyataan bahwa kami semakin bego. Gila memang. Tapi memang benar kalau aku merasa begitu bego.
Ketika
aku diberi tugas dari sekolah, tugas seperti menjawab pertanyaan essai, aku
tidak terlebih dahulu berpikir melalui otak sendiri seperti apa jawabannya
kira-kira. Tapi aku malah cepat-cepat mengambil HP dan mengatakan OK Google!
Terkadang aku juga berpikir terlebih dahulu jawabannya, mencoba merangkai
kata-kata, namun aku tidak terlalu percaya dengan apa yang ada di otakku. Aku
mengecek jawabannya terlebih dahulu di internet untuk mencocokkannya dengan
jawabanku baru kemudian menuliskan jawabannya. Sekarang, aku menjadi sangat
tergantung pada internet, sehingga internet membatasi pendapat, opini, dan
jawabanku sendiri. Padahal berpikir tentang jawaban dengan otak kita sendiri
akan membuat cara kita berpikir semakin berkembang. Oh, tidak. Aku menjadi semakin
bego.
Lalu
aku melanjutkan perbincanganku dengan temanku. Kami mendapatkan sebuah pertanyaan,
“kenapa kita tidak bisa sejenak saja berhenti bermain HP, berhenti mengecek
media sosial seperti Instagram, Whatsapp, Twitter, padahal isinya juga itu-itu
saja? Terkadang kita juga merasa bosan, tapi kita tetap membukanya. Apa yang
kita nanti sebenarnya?”. Lalu kami tertawa. Mungkin menanti chat dari seseorang
yang spesial? Tentu saja itu bisa menjadi salah satunya. Tapi untukku, aku
tidak menunggu siapa-siapa, tapi aku tetap membuka HP-ku. Ingin melihat dan
membuka notifikasi yang masuk. Dan anehnya lagi, aku sudah mematikan notifikasi
dari media sosialku, dan aku tetap sering sekali membuka-tutupnya. Internet
membuatku begitu ketergantungan.
Pernah
suatu ketika aku berinisiatif untuk membeli buku tentang cara agar tidak
ketergantungan pada HP, internet, dan media sosial. Aku mencoba untuk sejenak
tidak membaca karya fiksi dulu sebentar. Lalu, aku membaca buku berjudul The
Miracle of Focus karya Leo Babauta. Hasilnya? Tentu saja berpengaruh. Tapi aku
merasa pengaruh buku tersebut hanya sekitar satu minggu lamanya. Sebab, setelah
itu aku kembali ketergantungan dengan yang namanya HP. Sungguh tidak ada
gunanya aku membaca buku kalau tidak melakukan pesan yang disampaikan buku
tersebut. Tidak ada gunanya juga aku membaca berbagai buku pengembangan diri
kalau diriku sendiri tidak mau berubah atau pun berkembang. Tapi seru aja baca
buku begituan... Yah, meski termotivasinya cuma semingguan, tapi kan nanti bisa
dibaca lagi. Terus termotivasi lagi.
Oh,
ya. Aku dan temanku juga menyadari kalau sekarang ini muncul fenomena malas
bicara dan malas bertemu. Apa salahnya sih hanya ngomong babibu saja? Apa
salahnya sih bertemu? Manusia modern yang seringkali kutemui kebanyakan cenderung
bilang apa-apa lewat chat. Ya tidak apa-apa dan begitu dimaklumi kalau jarak yang
terbentang memang begitu jauh. Tapi, kalau jaraknya cuma sebelahan? Keterlaluan
dong. Dan menurut buku dari Simone de Beauvoir yang sedang aku baca, telepon
bukanlah hal yang membuat orang bisa lebih dekat; telepon hanya menegaskan
adanya jarak yang teramat jauh. Jadi, kalau jaraknya sangat dekat atau cuma
sebelahan aja chat-an, terbukti bahwa telepon tidak membuat orang menjadi lebih
dekat. Malah kayak jauh gitu.. paham gak sih?
Seharusnya
kita lebih bijak dalam berinternet. Ini sungguh sangat klise untuk diucapkan,
tapi memanglah sangat penting bagi kita untuk menjadi bijak dan sadar. Kita
tidak boleh terlalu bergantung sama internet atau pun teknologi lainnya sebab
kita yang menciptakan teknologi, dan seharusnya kitalah yang mengendalikan
teknologi, bukan teknologi yang mengendalikan kita.
“Kalau
ada HP, pasti kita enggak akan ngobrol seseru ini,” kata temanku dan aku
mengiyakan. HP mengalihkan fokus kita sehingga kadang kita lupa kita sedang
berada di mana dan bersama siapa. Jangan sampai pas kita lagi kumpul sama
teman-teman, kita malah bermain HP dan tidak saling berinteraksi. Atau
komunikasi tersembunyi lewat chat? Sungguh rumit.
Terus
aku berpikir lagi. Orang zaman dulu memangnya interaksi satu sama lainnya
sangat bagus dan tidak terganggu dengan apa pun? Seingat yang pernah kubaca,
jawabannya tidak juga. Zaman dulu juga ada yang menjadi penghambat manusia
untuk berkomunikasi antar sesamanya. Seperti sibuk membaca buku atau koran.
Lah, kok dilihat-lihat orang zaman dulu sekali lagi lebih keren dari orang
zaman sekarang ya? Orang zaman sekarang mah... kalau diam yang dilihat HP. Tapi
gak semua tentunya. Banyak juga yang baca buku, atau lihat HP tapi melihat
hal-hal yang berkualitas.
Pokoknya
kita harus dapat menjadi Homo Sapiens yang semakin berkembang dan berevolusi
menjadi lebih baik, bukan semakin menjadi bego. Kita harus jadikan
kemudahan-kemudahan zaman modern ini untuk membuat sesuatu, menghasilkan banyak
hal, kreatif, inovatif, dan seterusnya. Kita tidak boleh terlena dengan segala
kemudahan ini. Kita tidak boleh terus-terusan berada di zona nyaman, sebab zona
ini menyesatkan! Kita tidak boleh malas-malasan, kita harus berkarya, dan kita
tidak boleh menjadi bego. Kita harus ingat orang-orang zaman dahulu prestasinya
sehebat apa. Hebat banget. Bagaimana bisa coba zaman kuno di mana transportasi
masih bergantung sama hewan-hewan seperti onta, kuda, dan gajah orang zaman
dahulu bisa berpikir untuk mengukur berapa luas bumi, diameter bumi, bentuk
bumi? Bagaimana bisa coba mereka meneliti tentang gerak bumi terhadap matahari
dan bulan? Bagaimana bisa? Tentunya dengan berpikirlah. Sebab kita semua punya
otak. Kita harus memanfaatkan potensinya. Kita harus menjadi manusia yang
beradab dan berpengetahuan. Dan sekali lagi, jangan sampai kita menjadi bego.
Comments
bisatu terlepas dari ketergantungan hp secara instan, taulah alasannya apa fi eheh