DUNIA DONGENG
Write to tell a story
DONGENG-DONGENG
Waktu
kecil, aku suka sekali mendengarkan dongeng dari ibu sebelum tidur. Aku tidak
ingat apa saja dongeng yang beliau ceritakan sekarang. Mungkin hanya beberapa
seperti dongeng tentang kancil dan kunang-kunang. Kegiatan mendengarkan dongeng
seperti ini sungguh sangat menyenangkan dan menjadi pengantar tidur yang
sungguh indah. Tidak jarang dongeng-dongeng yang ibu ceritakan mempengaruhi
imajinasiku. Aku berpikir tentang bagaimana kalau aku menjadi buaya. Apakah aku
bisa ditipu oleh kancil? Tentu saja tidak. Aku tidak akan tertipu. Aku akan...
Dongeng
membuat masa kecilku penuh akan imajinasi. Bukan hanya di masa kecil, sih. Aku
masih menyukai kegiatan berimajinasi sampai sekarang. Terkadang imajinasi
membuatku menghasilkan karya dengan menggambarkannya di atas buku sketsa. Yah,
meski hasil gambarku tidak sebagus para profesional, tapi setidaknya aku bisa
menuangkan imajinasiku. Imajinasi-imajinasi yang membuatku merasa bahagia.
Entahlah, rasanya kita bisa mendapatkan apa pun yang kita inginkan dengan
berimajinasi. Kita bisa membuat dunia kita sendiri, Neverland kita, Peter Pan
kita.
Aku
tidak habis pikir kalau ada seseorang yang dalam hidupnya tidak pernah
mendengarkan dongeng atau membaca dongeng. Bagaimana ya kehidupan mereka?
Apakah penuh imajinasi sepertiku? Aku tidak tahu. Yang jelas aku sungguh sangat
menyukai dunia dongeng. Dunia tempat aku kabur kala dunia nyata menyakitiku.
Dunia tempat aku bisa mendapatkan segalanya.
Aku
teringat dahulu kala pada sebuah buku dongeng yang membuatku suka membaca buku.
Sebuah buku dongeng yang mengubah hidupku. Buku itu adalah buku pertama yang
kumiliki setelah bisa membaca. Aku ingat kalau dulu aku melihat buku itu di
suatu toko buku di pusat perbelanjaan.
Aku meminta Ayah untuk membelikannya, tapi Ayah menyuruhku untuk menabung dan
membelinya dengan uangku sendiri. Dan aku pun menabung, hingga aku bisa
mendapatkan buku dongeng yang begitu kuinginkan.
Buku
dongeng itu menceritakan tentang seekor burung gagak dan teko air. Ceritanya,
pada suatu hari di musim panas ada burung gagak yang sangat kehausan dan
akhirnya menemukan sebuah teko yang memiliki air di dalamnya. Namun, air
tersebut tidak bisa dicapai dengan paruhnya yang pendek. Lalu. burung gagak
mendapatkan ide untuk memasukkan batu-batu kecil sehingga air bisa naik dan
paruhnya bisa mencapai air tersebut. Burung gagak pun akhirya bisa
menghilangkan dahaganya, kemudian terbang kembali melanjutkan perjalannya.
Sebuah
kisah sederhana yang menceritakan tentang perjuangan. Kalau kita mau, kita
harus berusaha agar bisa mendapatkannya. Benar-benar kisah yang tidak bisa
kulupakan seumur hidup. Bahkan, aku masih ingat dengan kalimat pertama dari
buku dongeng itu.
In a sunny day, there was a crow flied who was very
tired and thirsty.
Sayang
seribu sayang, buku itu sekarang hilang. Sudah kucari ke mana-mana, namun tidak
kutemukan. Sedih sekali huhu...
Anyway,
Belakangan ini, aku sedang sangat tertarik dengan sebuah buku dongeng dari
Prancis yang berjudul Le Petit Prince
atau Pangeran Cilik karya Antoine de
Saint-Exupery. Buku ini sungguh menakjubkan! Menceritakan tentang seorang
dewasa yang pesawat terbangnya mogok di gurun Sahara. Kemudian, ada seorang
pangeran kecil yang datang dan memintanya menggambarkan seekor domba. Intinya
buku ini membuatku terjun dalam dunia anak yang lugu dan penuh warna. Kupikir
semua orang harus membaca buku ini. Buku ini layak dibaca oleh siapa saja meski
merupakan buku anak. Sebab, anak-anak akan menjadi dewasa. Dan orang dewasa
pernah menjadi anak-anak. Eh, kok aku malah kayak sedang mengulas buku, ya?
Terkadang
aku berpikir. Aku sangat menyukai dunia dongeng dan aku memiliki dunia
dongengku sendiri di otakku. Lalu, kenapa aku tidak mencoba menuliskannya?
Menulis itu agak sulit kurasa. Apalagi ketika cerita kita harus menyentuh hati
pembaca. Tapi kupikir-pikir lagi, menulis bukan tentang bagaimana tulisan kita
sampai pada hati pembaca, namun tentang bagaimana kita bisa mengutarakan apa
yang ada dalam pikiran kita. Tidak usah rumit-rumit. Lagipula, menulis dongeng
cukup sederhana. Tidak perlu rumit dan menjelaskan banyak makna seperti buku
filsafat. Baiklah, sekarang aku akan mencoba menuliskan dongengku.
DAUN KERING
Angin
utara yang bertiup dengan kencang membawaku turut serta. Aku telah lepas dari
tangkai yang mengikatku. Aku telah bebas dari hubungan yang telah ada semenjak
aku begitu kecil dan hanya setitik pucuk mungil. Beberapa kali pada saat aku
mulai tumbuh dan sedang segar-segarnya, ada ulat menjijikkan yang mencoba
memakanku. Tapi aku tetap berusaha bertahan dan hidup. Aku tetap menjadi hijau
dan menahan rintik hujan yang jatuh dari langit dengan selembarku. Aku tetap
menjadi tempat embun mendarat. Aku juga tetap melepaskan oksigen yang menjadi
sumber kehidupan manusia. Hingga aku tua dan kering, dan terputus dari tangkai,
dan bebas.
Aku
melayang bersama angin yang bertiup kencang. Meliuk-liuk dengan anggun bak
penari balet yang ada di pertunjukan. Ketika aku melihat ke bawah, ada sebuah
kota kecil dengan penduduk yang hilir mudik ke sana ke mari membawa urusannya
masing-masing. Kereta api berjalan melintasi rel secara bergantian, panjang,
dan teratur. Anak-anak berlarian bermain bola. Anak-anak perempuan bermain
masak-masakan didampingi boneka-boneka berwarna pink milik mereka. Aku menatap
mereka dengan senyuman, meski senyumku tak dapat terlihat oleh siapa pun,
kecuali semesta.
Angin
lalu melepaskanku setelah beberapa lama. Secara perlahan, aku mulai tertarik oleh
gaya gravitasi bumi. Aku mendarat di depan jendela kayu sebuah rumah. Jendela
dari kamar seorang gadis. Gadis itu termenung dengan tangan yang menahan
dagunya. Dia duduk di bangku belajarnya. Oh, apa yang sedang dia pikirkan? Aku
mencoba menerka-nerka, namun aku tidak dapat menyimpulkan hasil dari terkaanku.
Aku tidak pandai dalam membaca pikiran. Jadi, lupakan saja tentang gadis yang
termenung itu.
Aku
tergeletak begitu saja. Mungkin badai akan datang. Hujan akan turun. Panas akan
semakin menyengat. Hari-hari berlalu, dan aku akan melapuk. Dan aku tidak punya
harapan untuk suatu hari nanti. Tidak pula keinginan dan mimpi-mimpi. Lalu, aku
benar-benar melapuk. Aku kembali menyatu dengan tanah. Aku diterpa hujan,
disengat panas, terinjak manusia. Oh, aku membayangkan, betapa menjadi manusia
adalah hal terindah?
Hey,
apakah itu pantas disebut dongeng? Tidak usah berpikir macam-macam. Dongeng
bukan dongeng, sebut saja dongeng.
Selain
dongeng, aku juga suka dengan puisi-puisi. Meski terkadang aku malas dengan
puisi yang sulit sekali untuk ditafsirkan. Aku harus mikir dua sampai tiga kali
tentang apa yang ingin disampaikan oleh penulis melalui puisinya. Kenapa mereka
membingungkan pembacanya gitu loh. Baiklah, hal ini mengindikasikan bahwa aku
belum terbiasa dengan puisi-puisi yang memiliki bahasa yang berat. Biarlah.
Biarkan aku hanya membaca puisi-puisi sederhana supaya aku pun dapat
mencintaimu dengan sederhana. Lah, kok nyambungnya...
Aku
pernah menemukan sebuah puisi karya Jan Erick Vold dalam bukunya Jostein
Gaarder. Puisinya begitu pendek; tetesan
itu~tak tergantung di sana. Kalau tidak lupa aku pernah membaca
penjelasaannya juga bahwa puisi super pendek itu menggambarkan seluruh alam
semesta. Woi, bagaimana bisa? Entahlah aku lupa. Coba tafsirkan sendiri. Jika
aku menafsirkannya sekarang ini, rasanya
tetesan itu adalah air hujan. Tidak ada selang satu detik setelah kita melihat
tetesannya untuk kali pertama, tetesan itu sudah bergerak ke bawah dan tidak
berada dalam posisi pertama kali kita melihatnya. Hal ini seperti... tanpa kita
sadari, dunia berubah dengan cepat. Paham? Aku sendiri masih bingung. Puisi
tersebut begitu pendek namun penuh akan makna sehingga sulit sekali dijelaskan
dengan kata-kata. Coba bandingkan dengan puisi anak karya Christina G. Rossetti
ini.
Who Has Seen the Wind?
Who
has seen the wind?
Neither I nor you:
But
when the leaves hang trembling
The wind is passing through
Who
has seen the wind?
Neither you nor I:
But
when the trees bow down their heads
The wind is passing by.
Begitu
sederhana, bukan? Dengan sekali baca kita langsung tahu maknanya, yaitu tidak
semua hal yang tidak kita lihat itu tidak ada. Bisa saja hal yang tidak dapat
kita lihat itu ada dan untuk mengetahui keberadaannya, kita bisa merasakannya.
Seperti angin yang berhembus tadi.
Mengenai
dongeng berjudul Daun Kering yang
kubuat tadi, aku terinspirasi dari puisi tentang angin itu. Hahaha.
Comments