KEHABISAN BUKU


Kehabisan buku bisa dibilang merupakan hal yang sangat mengenaskan bagiku. Karena, saat gak ngapa-ngapain, ga ada yang bisa kubaca. Gak ada bau khas buku yang bisa tercium saat aku membaca kalimat-kalimat yang terketik di permukaan kertasnya. Gak ada keseruan saat menebak-nebak kelanjutan cerita. Gak ada tangis yang keluar saat tokoh utama mengalami guncangan klimaks atau ending yang gila parah. Pokok sedih banget. Rasanya seperti saat kamu ketergantungan sama handphone, terus HP-mu gak ada atau gak bisa digunakan. Hampa terasa hidupku tanpa buku-buku. Maaf lebai, tapi emang gini rasanya.

Aku dari dulu gak pernah sekehabisan buku kayak gini. Semisal benar-benar habis, aku bakal minjam buku punya kakakku (yang kebanyakan genre romance) untuk kubaca. Tapi, semua buku kakakku sudah kubaca. Buku-bukuku yang ceritanya bagus pun sudah beberapa kali aku baca ulang. Meski, ya, ada sekitar 3 buku non-fiksi yang ada, tapi aku gak bisa baca buku itu. Bukan karena ceritanya jelek (setiap buku bagus, ya), tapi karena gak cocok aja sama otakku. Seperti sebuah buku yang berjudul Jung's Map of The Soul karyanya Murray Stein. Itu bercerita tentang psikologinya Carl Jung. Kenal Carl Jung, gak? Ya sudah, aku kenalin aja bagi yang belum kenal.

Aku juga belum kenal lebih mendalam, karena memang belum habis baca bukunya. Baru setengah dari bab pertama. Tapi, tentu saja nama Jung sudah familiar banget bagiku. Kamu tahu tentang istilah introver dan ekstrover, kan? Nah, Jung ini lah yang mempopulerkan istilah-istilah tersebut. Tahu Sigmund Freud juga, gak? Aku pernah baca nama ini di novel filsafat. Sigmund Freud ini punya buku dengan judul Interpretation of Dreams (buku ini sangat terkenal). Hubungannya dengan Jung, kalau ga salah keduanya hidup sezaman dan pernah bertemu gitu.

Ngomongin masalah introver sama ekstrover, kita mungkin udah nggak asing lagi. Banyak banget konten-konten baik vidio maupun tulisan yang memaparkan tentang deskripsi jiwa ini. Dan karena pandemi gini, aku mau tahu lebih mendalam sama diriku sendiri. Sebelumnya aku cuma tahu kalau aku itu seorang ekstrover. Buset banget, kalau aku gak speak up, gak teriak-teriak, nggak ketawa-ketawa keras, nggak cheerful seharian, bakalan gak mood. Energiku kuisi sama keramaian yang kuperoleh dari lingkungan sekitar. Tapi, terkadang aku juga males. Aku kadang merasa risih sama keramaian dan pingin banget buat sendirian. I need space. Dan ternyata setelah aku tes psikologi di tempat bimbel, hasilnya aku seorang ambiver. Tapi kayaknya kadar ke-ekstrover-anku presentasinya lebih dominan. 

Tentang lebih mengenali diri selama pandemi, semakin ke sini jiwaku semakin menolak. Gimana ya jelasinnya. You know kalau we need time and space buat ngenalin diri itu perlu banget, tapi untuk sekarang, hal ini seperti too much. Terlalu lama juga. Ketika kita sendirian buat ngenalin diri selama seminggu atau dua minggu, it helps a lot. Kalau waktunya berbulan-bulan gini, self-analysis sama self-healing-nya jadi amburadul. Kalau self analysis mungkin masih bisa, tapi kalau konteksnya ke penyembuhan batin, udah kurang efektif lagi. Sekarang yang ada kita tambah stres, bro, sis. Kita gak bisa ngapa-ngapain.

Aku mau curhat dikit. Yang bikin aku males banget dan kecewa sama keadaan ini, study tour sma-ku dikensel. Jadwal lomba ilmiah buat ke ITS dan tour kemaritiman diganti daring. Jadwal buat ke bandung untuk bimbel, diganti daring. Jadwal ke luar kota buat olimpiade geografi dan APBN diganti daring. Rencana buat liburan jauh bareng keluarga juga jadi di rumah aja. Kecewa banget, parah. Kita semua ngalaminnya, kan? Ya udah, kita cuma bisa bilang "mau gimana lagi."

Kembali lagi ke topik kehabisan buku. Sebenarnya aku pingin banget buat beli buku, tapi lagi gapunya duit. Mau minta ke ortu, ga sepede itu. Soalnya kalau untuk barang/keperluan pribadi, aku dari kecil diwajibkan menabung dulu, lalu pakai uang sendiri buat beli barang yang aku mau itu. Sedangkan sekarang sekolah gamasuk, otomatis gak dikasih sangu dan aku gak bisa nabung. Apalagi karena saat ini aku kelas 3, sama Ayah dilarang buat baca buku fiksi. Harus baca buku sekolah aja. Fokus belajar sama meningkatkan nilai. Oh, flat banget hidupku sekarang.

Buku itu bagiku kebutuhan primer. Karena otak butuh makanan, aku kasih makan dengan membaca buku. Karena kehabisan buku dan sedang gak dibolehin baca genre fiksi, mau gak mau aku harus nyari solusi. Karena dunia tanpa membaca kayaknya bisa membuatku gila. Jadi, aku baca-baca blognya influencer favoritku, Gita Savitri sama booklover dari Indo yang lagi kuliah di Aussie (aku gatau namanya tapi blognya adalah Cups And Thoughts). Aku juga baca artikel dari Greatmind serta untuk asupan geografi, aku baca website NatGeo baik yang Indonesia maupun yang internasional.

Kadang, aku mikir. Kok bisa sih ada orang yang nggak suka baca buku? Aku pingin banget jelasin ke mereka, kalau dunia buku itu dunia di mana kita bisa menemukan apa pun. Kita bisa menemukan dunia yang dalam fisik kita tidak bisa ke sana. Kita bisa hidup ribuan kali setelah dihanyutkan oleh epilog lalu kembali lagi membaca buku lain dan mengawali prolog. Kita bisa menemukan diri kita yang hidup dalam hoofdrol atau tokoh utama. Intinya, ayo membaca dan temukan duniamu.

Aku pernah punya pengalaman mencoba menceburkan temanku yang paling malas baca buku. Hasilnya gak berhasil, karena si dia tidak menikmati ceritanya dengan pelan, dan terburu-buru menyimpulkan, "ah, sebagus apa pun bukunya, tetap ga menarik bagi aku." 

Gais, cobalah melihat ke belakang, ke masa lalu, ke sejarah. Apa yang bikin ilmu pengetahuan menyebar pesat dan berkembang? Ilmuwan yang menulis ilmunya dan menjadikan buku. Lalu buku itu diterjemahkan ke bahasa lain. Didistribusikan ke negeri lain. Dibaca, dibaca, dibaca. Kemajuan peradaban terus meningkat pesat.

Alkisah, dulu pada zaman caliph Harun Ar-rasyid, beliau membangun rumah bijaksana di Baghad yang merupakan perpustakaan terbesar pada zamannya. Ilmuwan-ilmuwan dari berbagai penjuru negeri datang ke sana. Buku-buku dari Yunani dan negeri barat lain banyak diterjemahkan ke bahasa Arab dan Persia. Ilmuwan-ilmuwan Arab pun banyak terinspirasi lalu mengembangkan ilmu dari barat tersebut. Hasilnya banyak penemuan-penemuan dan teori-teori baru bermunculan. Dan hampir semuanya masih berpengaruh bahkan kita gunakan.

Kita bisa melihat negeri Eropa sekarang. Sangat maju, SDM sangat berkualitas. Kenapa? Karena mereka suka membaca. Tapi insyaallah Indonesia sekarang udah banyak yang suka baca. Meski akses menjangkau buku agak sulit. Karena toko buku yang jarang dan harga buku yang mahal bikin banyak orang lebih memilih untuk membeli barang lain. Padahal, buku mahal juga karena isinya berguna. Bahan bakunya juga kertas yang berasal dari pohon. Kalau dijual murah, gabisa beli bibit pohon dan reboisasi, dong? (Gila mikirku sampe sini).

Udahan dulu aku nulisnya. Aku mau lanjut belajar dulu. OSP dah mepet, nih. Gila apa kemarin simulasi aku gak masuk passing grade nasional. Mana dominasi soal-soalnya pengetahuan umum lagi. Jadwalku sekarang ruwet banget cui. Sekolah banyak tugas dengan tenggat yang mepet-mepet. Dasar emang hobi multitasking. Sekarang aku juga ngurus klub dan ekstra yang mau mulai lagi setelah lama libur. Terus habis OSP aku harus nyiapin presentasi lomba KTI. Dilanjutkan dengan olimpiade APBN. Mana aku juga pingin ikut KTI ketahanan pangan lagi. Apa pun itu, doaku sekarang adalah aku ingin beli buku secepatnya!

I’am ready to face my super-productive days!


Comments

Popular Posts