MAZHAB IMPIAN

Di sini aku mau share tentang berbagai pendapat yang kudapatkan tentang impian. Dari berbagai pendapat itu, aku kelompokkan dan istilahkan dengan paham/aliran/mazhab. Happy reading all!


MAZHAB IMPIAN



Sebelumnya, apa sih perbedaan antara cita-cita dengan impian? Sekilas kedua istilah tersebut nampak hampir sama, tapi sebenarnya beda. Kalau cita-cita didasarkan pada keinginan untuk “menjadi apa” di masa depan, sedangkan impian didasarkan pada “ingin bagaimana” kita di masa depan nanti. Untuk lebih jelasnya, kukasih contoh aja.

Cita-citaku, aku pingin banget kerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Belanda. kalau enggak di Belanda, Jerman deh. Atau New Zealand. Terus, untuk impian, aku ingin beli rumah di Yunani dan pingin ketika tua nanti menghabiskan sisa umur di desa kecil yang ada di Swedia. Dari contoh ini, analisis sendiri perbedaannya. Soalnya sudah jelas banget, kan?

Terus, kenapa judul blog ini ada mazhab-mazhabnya? Pertanyaan bagus. Mazhab itu aliran, kan, tapi kali ini ya bukan aliran-aliran dalam agama atau filsafat, tapi aliran atau paham tentang impian. Soalnya nih, selama 17 tahun lebih aku hidup, aku banyak menemukan petuah-petuah tentang cita-cita dan impian yang beda-beda dan kalau dirangkum, kayaknya bakal ada 4 mazhab. Langsung aja deh, cus.

Pertama, aku dapat petuah dari seorang ustadz waktu MTS dahulu. Kata beliau, impian itu jangan disebar-sebar atau diumbar-umbar. Cukup diri kita dan Allah yang tahu. Kenapa? Karena, kalau nanti disebar dan banyak orang yang tahu, nanti kalau impian itu enggak berhasil, yang kecewa akan hasilnya bukan cuma kita doang tapi juga orang lain. Atau kalau ga gitu, pas kita umbar-umbar impian kita yang tinggi banget sampai menyundul langit, kita bakalan ditertawakan. Setelah ditertawakan bagaimana? Iya, kalau yang mentalnya kuat nggak apa-apa. Nggak bakal down,atau malah bikin tertawaan itu jadi semangat. Kalau yang mentalnya empuk banget, lemah dan gampang ancur kayak tahu gimana? Bisa-bisa down, gaes. Bisa-bisa menyerah bahkan sebelum bertanding. Jadi, daripada urusannya panjang dan overthingking terhadap orang lain, mending jangan sebar-sebar mimpinya. Biarin Allah aja yang tahu. Mantapkan doa, dan bikin impian itu jadi nyata.

Yang kedua, aku dapat petuah dari mana, ya? Udah lama jadi lupa. Kayaknya dari kakak kelas gitu, deh, pas waktu ngomongin tentang impian dan cita-cita. Katanya, impian dan cita-cita kita itu, sebarin ke banyak orang. Omong-omongin terus. Biar apa? Biar banyak yang mengamini. Semakin banyak yang mendoakan, peluang terkabulnya doa akan semakin besar. Lagipula, kalau nantinya kita ditertawakan, kita bisa mendapatkan semangat balas dendam. Maksudnya kayak gini nih, “heh tuh orang dulu nertawain impian gue, awas entar kalau impian gue jadi beneran.” Tapi serem juga, ya kalau semangat balas dendam ini. Bisa-bisa mengandung kesombongan dan sok-sok an gitu. Tapi balik lagi, kalau cuma untuk penyemangat, it’s okay.

Intinya mazhab yang kedua ini kebalikan dari mazhab yang pertama. Masing-masing ya ada poin plusnya, poin minusnya juga bisa ditiadakan sih, sebenarnya. Penting semangat aja. Terus improving ourselves. Doa dan usahanya jangan sampai kelupaan. Lanjut gak nih? Lanjut dong.

Mazhab yang ketiga, aku dapat dari Youtube. Mazhab ini mengatakan kalau kita bercita-cita dan bermimpi itu, jangan tanggung-tanggung. Harus berani yang tinggi sekalian. Karena Allah itu Mahakaya, Mahakuasa, kita tinggal minta aja. Usaha yang keras juga, dong. Malu, kali, kalau mimpinya tinggi tapi males-malesan. Mau jadi apa, nanti? Bisa-bisa hasil akhirnya bukan impian yang terwujud, tapi malah kecewa. Dan kecewanya tentu levelnya tinggi abis, karena kadar mimpinya yang juga udah terlalu tinggi. Kalau nggak bisa keep going dan bangkit, bisa gila, cui. Bahaya. Makanya, quotes yang paling wajib ditempelin di kening kita itu adalah berani bermimpi, harus berani juga berusaha.

Yang terakhir, aku dapat dari Youtube, buku, dan orangtuaku. Ini bisa disebut realistisme kali, ya? Soalnya, mazhab ini mengatakan kalau saat bermimpi dan bercita-cita, kita harus realistis alias memikirkan keadaan. Pikirkan dulu kondisi ekonomi, kondisi masyarakat saat ini, kondisi negara, kondisi lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Banyak yang harus dipertimbangkan, deh. Yang paling penting itu kayaknya kondisi ekonomi. Kembali lagi sama persoalan uang. Soalnya, hampir segala aspek di dunia ini pakai uang, cui. Jadi, ya gak bisa, gitu loh kalau cuma modal impian dan idealisme doang. Tapi, masalahnya, mazhab ini  bisa membuat kita takut dan pesimis untuk mengambil impian yang lebih tinggi. Ya, karena dibatasi oleh realitas itu tadi.

Terus ada juga, quotes yang mengatakan kalau “bermimpilah setinggi langit, kalau nanti jatuh, kita akan jatuh di antara bintang-bintang”. Aku agak males sama kata-kata ini. Terlalu fiksi dan imajinatif. Mana ada jatuh bareng bintang, yakali ikut kebakar di lapisan mesosfer, huhu. Nyampe bumi cuma tinggal debu doang. Eh, btw, bintang apa jatuh? Bukannya meteor, ya yang jatuh? Soalnya, bintang kan kayak matahari, gitu. Okei, quotes itu rasanya benar-benar ganjil. Jadi, lupakan aja.

So, kita udah sampai ke pertanyaan, “enaknya milih mazhab yang mana, nih?”. Terserah, tinggal dipilih-pilih aja. Atau, bisa juga bikin mazhab yang lain, versi kita sendiri. Tapi, sebenarnya, dari keempat mazhab itu bisa digabungin, loh gaes. Gimana-gimana?

Untuk impian yang realistis, kita sebar-sebarin aja. Biar banyak yang ngaminin. Kalau, impian yang imajinatif, kita simpen aja biar enggak dibilang gila. Kita rahasiakan aja, biar cuma Allah yang tahu. Habis itu, doa kita yang kenceng buat segala impian dan cita-cita yang kita miliki. Oh, ya. Sama berharap. Kalau menaruh harap, yang sepatutnya saja. Jangan berlebihan, nanti kecewanya juga berlebihan.

Kalau aku pribadi, aku lebih condong ke mana, ya? Bingung juga soalnya aku labil banget. Suka plin plan. Kadang juga seminggu cita-citanya ini, seminggunya lagi udah beda. Tapi belakangan ini, aku sudah mantepin. Insyaallah.

Impianku dan cita-citaku itu, btw, sama seperti yang aku contohin di paragraf kedua blog ini. Iya, aku pingin kerja di KBRI dan beli rumah di Yunani. Dan karena aku sudah nyebutin, sudah bisa dibilang kalau aku mengkoar-koarkan mimpiku biar banyak yang ngaminin. Aminin, cui. Aku doakan yang mengaminin mimpiku juga sukses dunia akhirat. Tentang realistis, oh, tentu aku realistis. Orangtua-ku bukan orang kaya. Jadi, karena mimpiku yang kesannya sampai menyundul sidrotul muntaha, aku bakal mengoptimalkan potensi otakku. Modalnya impian, otak, sama doa. Insyaallah, ya rabb, qobul hajat.

Oh, iya, dulu aku pernah down banget ketika keluargaku bilang kalau masuk ke perpolitikan gitu, jangan terlalu menaruh harap. Soalnya, kadang KKN masih ada. Jalur kenalan, gitu perekrutannya. Tapi kali ini aku udah bodo amat. Pokok aku usaha. Harapanku juga gak berlebihan, kali. Kalau nanti nggak keterima kerja di kedutaan, ya jadi apa kali kek, yang lebih bisa bikin aku kaya raya dibanding kerja di kedutaan. Dah, terserah Allah aja ntar kayak gimana. Karena aku tahu, Allah tidak akan pernah mengecewakan hambanya yang selalu berusaha dan berdoa.

Cui, selesai dulu ya, tulisanku.  Udah habis topiknya. Terima kasih yang udah nyempatin membaca, karena aku tahu, kalian membaca blog-ku karena nyasar dan nggak sengaja. Orang blog ini gak pernah aku promosiin, cuma aku taruh tautannya di akun medsosku yang pengikutnya sedikit banget. Tapi, ya bodo amat. Pokok nulis aja, biar apa yang ada di kepalaku tersalurkan.


Comments

Popular Posts