SANTA BERBAJU JINGGA
Gadis
itu duduk sendiri di bangku bercat putih yang ada di suatu taman kota. Tas
ransel berwarna putih tulang tergeletak di sampingnya bersamaan dengan botol
yang berisi air gula. Telinganya tersumpal earphone
yang memutar playlist lagu rock
kesukaannya. Dia menatap jalanan kota yang tak terlalu ramai dengan mata harap
menanti jemputan dari ayahnya yang tak kunjung tiba.
Dia
mengecek jam tangannya sekali lagi. Sudah satu jam setengah dia menunggu.
Teman-teman lesnya paling ya sudah pulang semua. Setelah jam les selesai dia
tadi langsung ke taman sendirian untuk jalan-jalan sebentar sambil menunggu
jemputan.
"Nak,
kamu naik bus saja, ya? Ayah baru saja mau menjemputmu, tapi ada telfon
panggilan kerjaan mendadak," tulis ayahnya dalam pesan singkat.
Gadis
itu lalu beranjak dari duduk. Dia berjalan menuju halte bus yang terletak 200
meter dari taman kota. Setelah sampai di halte, gadis itu duduk kembali. Dia
mengganti playlist lagunya, tetap
genre rock, tapi ini playlist yang
kedua. Kalau dilihat dari tipikalnya yang pendiam, pasti tidak ada yang
menyangka kalau dia sangat menyukai genre rock. Apalagi kalau di kamar
sendirian, dia bakal loncat-loncat sambil bernyanyi. Mengeluarkan emosi dan
teriakan hati, katanya.
Di
kursi halte yang berkarat dimakan waktu dan cuaca itu hanya ada dia dan seorang
ibu-ibu dengan keranjang penuh sayuran. Ketika dia menoleh ke sisi lainnya, ke
beberapa deret kursi yang kiranya kosong tadi, dia malah menemukan sebuah tas
biola. Dia celingak-celinguk mencari sosok pemilik benda itu. Tapi tidak ada
siapa pun di sana kecuali ibu-ibu tadi.
Penasaran,
dia mengambil tas biola itu dan mengeluarkan biola yang ada di dalamnya. Tapi
dia tidak menemukan keterangan apa pun terkait pemilik biola itu. Jadi, untuk
mengusir kebosanan saat menunggu bus yang belum tiba, dia mengambil bow dan
mulai memainkannya. Karena dia bisa bermain biola meski tidak terlalu lihai,
dia coba memainkan simfoni nomor 40. Gadis itu memainkannya dengan
baik sambil menutup mata untuk menghayati. Dua menit setelah menggesekkan bow
di atas senar biola tersebut, gadis itu berhenti dan membuka mata.
Bukan,
bukan jalanan yang penuh lalu lalang kendaraan yang ada di hadapannya sekarang.
Tubuhnya telah diangkut oleh suatu entitas mahagaib, maha tidak diketahui. Yang
ada hanyalah kebingungan. Dia berdiri sambil masih menenteng biola yang
ditemukannya tadi dan menatap sekitarnya. Padang bunga. Ya, padang bunga.
"Bagaimana
bisa? Aku... aku tadi bukannya menunggu bus di halte? Ya Tuhan, bagaimana
bisa..."
Gadis
itu kebingungan tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana caranya untuk
kembali ke tempat dirinya berada semula. Namun, semakin berpikir semakin
kebingungan lah dia. Lalu, dia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar.
Barangkali menemukan orang yang bisa dia tanya terkait jalan untuk pulang. Yah,
meski mustahil menemukannya karena di mana-mana cuma ada bunga!
Di
samping kebingungan, gadis itu juga kagum dengan bunga-bunga itu. Tercium wangi
semerbak di mana-mana. Kupu-kupu, kumbang, dan lebah dia temukan beterbangan di
setiap iringan langkahnya. Tidak lama kemudian, setelah sekitar tiga bukit dia
lalui, dia menemukan sebuah rumah aneh di ujung sana. Rumah yang atapnya
berbentuk setengah bola dan terlihat sedikit berkilau dan setelah semakin
didekati... atapnya adalah panel surya?
Setelah
sampai, gadis itu mengetuk pintu rumah itu. Tak sampai tiga ketukan, seorang
laki-laki membukakan pintu. Betapa anehnya! Laki-laki itu seumuran dengannya
tapi memakai baju santa. Dan bajunya bukan warna merah seperti yang dipakai
santa pada umumnya, melainkan berwarna jingga.
"Tempat
ini bukan kutub utara, kan?" tanya gadis itu spontan.
"Oh,
tentu bukan. Ini gurun
Atacama," jawab laki-laki aneh berbaju santa yang warnanya jingga itu.
Chile?
Gadis itu ada di Chile? Bagaimana bisa dia pindah benua? Bagaimana bisa dalam
sekejap dia melalui samudera hindia dan atlantik sekaligus? Tapi kalau lewat arah barat, bagaimana
bisa dalam sekejap dia melalui luasnya samudera
pasifik? Ya Tuhan, apalagi ini.
Dan Atacama? Bukannya tempat ini gurun pasir?
Kemudian
gadis itu ingat kalau fenomena ini bisa saja terjadi dan bisa dijelaskan secara
ilmiah. Tapi masa bodoh dengan fenomena itu, dia harus pulang, bukan?
"Silahkan
masuk dulu, Elise," kata laki-laki itu.
"Bagaimana
bisa kamu tahu namaku?"
"Hmmm,
mudah saja," jawabnya tanpa penjelasan.
Benar-benar
aneh semuanya. Aneh. Sangat aneh. Bagaimana bisa di gurun ada santa? Dengan
pakaian warna jingga dan seumuran dengannya?
"Tolong
jelaskan, aku bingung," katanya memohon.
"Tidak
ada yang perlu dijelaskan, Elise."
"Kamu
siapa?" untuk sejenak Elise
berpikir konyol. Belahan bumi utara selalu berkebalikan dengan belahan bumi
selatan, kan. Santa yang di Finlandia yang serba beriklim dingin sekarang malah
ada di gurun Atacama. Berpakaian
jingga lagi. Santa yang di utara pun tua, di sini masih belia. Atau
jangan-jangan nama laki-laki ini bukan Santa, tapi Santi atau Sinta. Tidak
lucu, Elise! Ayo cepat cari jalan pulang.
"Aku
Fanta."
Elise
terkikik geli. Santa dan Fanta? Bukannya Fanta itu nama merk... Cukup. Setidaknya
bukan Santi atau Sinta.
"Fanta,
tolong jelaskan kepadaku bagaimana jalan untuk pulang."
"Mudah
saja," jawabnya.
"Mudah
bagaimana?"
"Sudah,
jangan dipikirkan. Kita mengobrol di taman belakang saja."
Elise
mengikuti langkah Fanta menuju ke belakang. Rambut laki-laki itu hitam dengan
kulit yang agak kecoklatan. Wajahnya seperti orang Amerika Selatan dan lumayan
tampan.
"Nah,
di sini."
Di
taman belakang itu, pemandangannya sama saja. Bunga dan bunga. Mereka duduk di
atas tikar yang polanya seperti tikar khas Maroko. Terdapat teko air dan gelas
yang polanya seperti buatan Cina. Ada juga vas bunga dari kayu yang ukirannya
wayang Indonesia.
"Sekarang
tidak usah memikirkan tentang bagaimana bisa kamu ke tempat ini atau bagaimana
caranya kamu pulang, karena nanti kamu juga akan tahu jawabannya."
Mau
tidak mau, Elise akhirnya menurut saja.
"Elise
lagi sedih?" Fanta bertanya kemudian.
Elise
menatap mata Fanta itu, bagaimana dia bisa tahu?
"Tidak
usah bertanya-tanya. Jawab saja."
"Iya,
itu benar. Laki-laki itu benar-benar buaya. Bagaimana bisa dia membuatku jatuh
hati padanya lalu meninggalkanku begitu saja?" Elise mengungkapkan
kekesalannya terkait problematika cinta yang dia hadapi sejak beberapa hari
lalu.
"Ya,
ya. Kamu pantas bersedih, tapi itu tidak mengubah banyak hal."
"Aku
harus melakukan apa?"
"Mudah
saja. Dengarkan lagu rock kesukaanmu dan nyanyikan dengan keras sambil
loncat-loncat di atas kasur."
"Hey,
bagaimana kamu juga tahu itu? Tapi, Fanta, aku sudah melakukannya. Kesedihanku
masih belum hilang."
"Mudah
saja. Carilah cinta yang lain."
"Heh,
kamu dari tadi bilang mudah saja mudah saja!" ungkap Elise sambil menabok
bahu Fanta.
"Hahaha,
mudah saja, Elise."
"Kamu
membuatku sebal, Fanta," katanya sambik tertawa.
"Tertawalah,
Elise yang baik. Tertawalah dengan puas."
Setelah
beberapa selang tertawa terpingkal, Elise terdiam. Lalu dia menatap Fanta lagi.
"Kamu
sendiri, sedang senang atau sedih?"
"Mana
mungkin aku sedih ketika ada Elise yang hadir di rumah mungilku ini."
"Kamu
kesepian, kan Fanta?" tanya Elise menebak. Karena tentu saja santa dari
belahan bumi selatan dengan baju berwarna jingga ini akan kesepian! Tidak ada
ribuan surat milik anak-anak dari seluruh penjuru dunia yang dikirimkan
kepadanya. Tidak ada yang mengharapkan kehadirannya di setiap natal tiba.
Lagipula, ini gurun Atacama yang
bahkan masih banyak orang belum familiar dengan namanya. Andai saja tempat
tinggalnya ini ada di gurun Afrika itu. Dia tentu akan sering bertemu dengan
para musafir yang berlalu lalang dengan unta-untanya. Atau bahkan kalau tinggal
di Giza, dia tidak akan terlalu jauh dengan kota. Dia juga bisa saling melambai
dengan para turis yang hendak melihat peninggalan-peninggalan peradaban lama.
Elise jadi bingung sendiri. Kenapa dia tidak pindah saja? Sedang menjalankan
misi apa, sih dia? Lagi-lagi Elise buntu. Nalar tidak bisa menjangkau tempat
yang laiknya dongeng itu.
Mendengar
pertanyaan Elise tadi, Fanta hanya terdiam. Elise bisa menebaknya dengan
gampang.
"Itu
mudah saja, Fanta. Mari kita berteman!" ajak Elise dengan senyum
mengembang.
Fanta
tersenyum lalu berkata, "benar, Elise. Mudah saja."
Keduanya
lalu beranjak keluar rumah untuk bermain di padang bunga dan kejar-kejaran
seperti anak kecil. Sesekali tersandung, terjatuh, tapi selalu penuh tawa. Ah,
sudah lama Elise tidak sebahagia ini. Begitu pula Fanta.
"Elise,
mari petik bunga."
"Tentu!"
Elise
memetik bunga-bunga itu sehingga penuh di tangannya. Bahkan karena kalap, dia
sampai harus memegang puluhan batang bunga itu dengan kedua tangan.
"Elise!
Ayo kembali," panggil Fanta selang beberapa saat.
Sebenarnya
Elise enggan. Dia masih suka berada di tengah-tengah padang bunga itu. Tapi,
dia menuruti saja apa kata Fanta. Mereka berdua pun kembali lagi ke rumah
dengan atap panel surya itu.
"Hmm,
Elise, sudah waktunya kamu pulang," kata Fanta setibanya mereka di dalam
rumah.
"Hah?
Pulang ke mana? Ke tempatku semula? Ke halte pinggir jalan yang usang itu? Ke
dunia yang berisik itu? Secepat ini? Tidak mau. Aku tidak mau kembali. Di sini
saja, Fanta. Bersamamu."
"Tapi
keluargamu menunggumu. Ada sekolah yang harus kamu lanjutkan, ada mimpi yang
harus kamu kejar."
"Tapi
Fanta, Kalau aku pergi, lalu siapa yang akan menemani sepimu?"
Fanta
terdiam sejenak lalu berkata, "mudah saja, Elise. Ada bunga-bunga yang
menemaniku."
"Bunga
di gurun Atacama tidak
abadi!"
"Mudah
saja, Elise. Akan ada orang lain yang tiba-tiba tersesat di gurun ini
sepertimu, lalu akan jadi temanku meski cuma sebentar. Tapi untuk yang itu,
tidak ada yang bisa benar-benar menggantikanmu. Kamu berbeda, Elise."
"Kamu
ini kenapa selalu menggampangkan semuanya?! Selalu saja mengatakan mudah saja,
mudah saja! Fanta, dengar aku. People
come and go, right? But I wanna stay, Fanta. Aku... aku merasa seperti di
rumah. Kamu rumah! Aku tidak perlu pulang."
"Tidak,
Elise. Kamu harus pulang. Aku bukan rumahmu."
Elise
menatap Fanta itu dengan berlinang air mata. Dia tidak ingin pulang. Dia ingin
bahagia saja di sini bersama Fanta. Dia lelah dengan realita dunia. Dia lelah
dengan tugas-tugas sekolah, kurikulum yang ribet, ujian masuk universitas yang
masih belum siap dia hadapi. Dia lelah dengan pertemanannya yang pelik. Dia
lelah dengan laki-laki tempo hari lalu—yang tidak tulus mencintainya sedang dia
sudah menaruh harap. Dia lelah dengan semuanya. Dia ingin tinggal di sini saja
bersama Fanta, sungguh!
Lalu,
keduanya saling berdiri berhadapan. Saling tatap dengan diam dan semakin
mendekat satu sama lain. Fanta sebenarnya ingin sekali memeluk tubuh Elise yang
mungil sebahunya itu, namun tubuhnya kaku dan hanya bisa menatap sepasang mata
tulus itu. Mereka saling bertatapan lama dengan penuh... penuh cinta? Oh,
Tuhan, begitu mudahnya Kau membuat hati yang patah kembali menemukan cinta!
"Sebentar,
hampir lupa," kata Fanta.
"Apa?"
"Sebelum
pergi, kamu mau minta apa? Emas, perhiasan, mutiara, apa pun yang indah?
Semuanya bisa kamu bawa pulang."
"Aku
tidak mau apa pun."
"Tapi
kamu harus meminta sesuatu, Elise yang cantik. Sebut saja sebagai
kenang-kenangan.”
"Ya
sudah. Setangkai bunga mawar putih. Itu saja."
"Hah?
Tidak ada lagi? Kalau nanti mawarnya layu?"
"Sesampai
rumah, aku akan menancapkannya ke tanah agar tumbuh. Dan Fanta, aku juga meminta
agar memori tentang hari ini, tidak akan kulupakan seumur hidup."
"Mudah
saja, Elise."
"Benar,
mudah saja," ucap Elise. Keduanya kembali saling bertatapan, semakin
mendekat satu sama lain dan ketika Elise menutup matanya....
Suara
itu kembali. Suara jalan dengan lalu lalang kendaraan.
"Bagaimana
bisa?" Elise mengecek jam tangannya. Tidak ada, tidak ada waktu yang lewat
sedetik pun sejak dia meraih biola itu.
Biola!
Namun,
tidak ada biola di kursi halte itu. Yang dia temukan hanya setangkai bunga
mawar putih.
Tak
lama kemudian, bus pun tiba. Elise memasukinya sambil membawa bunga mawar putih
itu. Sambil menatap pemandangan di luar bus melalui jendela, Elise tersenyum.
"Kamu
nyata, bukan?" tanyanya dalam hati. Lalu, dia pun mulai menangis.
Comments