ADVICE SESSION: SHE ASKED ME HOW TO CRY
Sebentar, mau basa-basi.
Berdasarkan apa yang ditulis James Clear dalam bukunya yang berjudul Atomic Habits, kalau kita sudah bisa melakukan suatu kebiasaan dengan baik, kita bisa menambahkan satu kebiasaan lainnya. Terkait hal ini, karena kebiasaan mengunggah blog setiap hari Selasa sudah menjadi rutinitas, aku menambahkan jadwalnya menjadi setiap hari Selasa dan Jumat. Kenapa begitu? Alasannya bukan karena aku ingin memaksakan diri untuk menjadi begitu produktif dalam hal menulis, melainkan final draft yang siap keunggah dalam blogku sudah menumpuk dan kebanyakan berisi ulasan buku. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengunggah ulasan buku setiap hari Jumat, sedangkan hari Selasa kumanfaatkan untuk mengunggah gagasan-gagasanku. Untuk yang ulasan buku, sepertinya aku tidak akan mengunggah informasi pengunggahan seperti di Snap(WA/IG) atau di Twitter karena malas bikin Canva dua kali seminggu. Pokoknya rutin, gitu saja. Kalau kamu ingin membaca review buku yang mana, tinggal lihat Daftar Isi bagian Reviu Buku dan kalau ingin membaca topik lainnya juga bisa. Pilih saja menu yang ada di pojok kanan blog; Daftar Isi ada di bawah profilku.
Sebagai tambahan informasi, kalau kamu ingin request buku apa yang ingin diulas, jangan sungkan-sungkan. Tinggal
email atau hubungi dm-ku dan sebutkan buku apa yang ingin diulaskan. Namun,
tentunya aku butuh waktu juga kalau buku yang dimaksud ternyata buku yang belum
aku baca. Aku butuh waktu untuk menabung, beli buku, membaca bukunya sampai
tamat, baru kemudian menulis review dan mengunggahnya setiap hari Jumat.
Sebelum kita lanjut, aku mau minta maaf dulu karena sudah dua kali
aku menyebut sumber inspirasi yang sama di dua artikel blog. Apalagi kalau
bukan buku berjudul Atomic Habits karya James Clear? Aku janji, ini akan
menjadi yang terakhir. Alasanku menyebut buku itu tentu saja karena sesuai
dengan topik. Yang kedua adalah karena aku ingin sering menyebut-nyebut judul
buku itu agar aku termotivasi untuk segera menyelesaikannya. Bukunya bagus,
non-fiksi, it works for me, tapi aku
terlalu lama bacanya. Kalau sudah selesai, nanti aku unggah juga ulasannya
sebab mulai beberapa bulan lalu aku berikrar untuk menulis ulasan/review setiap
buku yang telah kubaca untuk mengingat kembali, “ini ceritanya mulai awal
gimana, sih?”, sekaligus ketika aku mengunggahnya, bisa jadi menjadi sebuah
pertimbangan agar kamu ingin membacanya juga.
Omong-omong, perihal ulasan buku, aku tidak mau blogku didominasi
oleh itu. Maksudku, ya tidak apa-apa isinya tentang buku, kan memang blognya milik
manusia kutu buku. Tetapi dan tetapi, sampai kapan sih seringnya cuma review
buku orang? Terlalu sering dan fokus menulis ulasan membuatku lupa untuk
menulis gagasan-gagasan yang hinggap di kepalaku. Aku terlalu amaze dengan produk orang hingga lupa
memproduksi sendiri. Nah, jadi aku akan mulai merutinkan diri untuk memuntahkan
gagasan-gagasan yang ada di kepalaku?
Sekarang, gagasanku memangnya apa, sih?
Iya, itu tadi. Gagasanku sekarang adalah aku terlalu banyak
mengunggah review buku dibanding mengunggah karya orisinilku. Ya mau gimana,
ya, sebenarnya kan memang yang dibaca sedang banyak, jadi reviewnya juga
banyak. Alasanku membaca banyak-banyak juga krusial dan esensial, yaitu karena
aku sedang menggarap buku (I mean my own
book), jadi aku harus banyak membaca—cara
menulis dengan baik adalah dengan banyak membaca.
Jangan membayangkan buku yang sedang kutulis adalah karya yang
begitu masterpiece, wow, dan
sebagainya. Aku tidak mau ada yang berekspektasi seperti itu karena aku juga
tidak berani ekspek apapun. Sering sekali aku meninggalkan karya yang setengah
jalan dan melupakannya begitu saja, sehingga ekspektasiku sekarang cuma dapat
menyelesaikan buku itu hingga tamat. Semoga saja bisa, karena aku lumayan suka
dengan ceritanya.
Well, sekarang lonjakan Covid semakin progresif, ya? Tentunya blogku
hari ini tidak akan membahas tentang ini, karena aku tahu kita semua—kamu dan
aku—sedang overwhelmed dengan berita
yang terus-terusan tentang Covid. Meskipun begitu, kita harus tetap update biar tahu situasi di luar seperti
apa. Dan, karena situasinya sedang begitu gawat, aku harap kita semua tetap
sehat selalu dan kalau bisa jangan keluar rumah terlebih dahulu. Carilah
kegiatan menarik yang bisa membuat kita betah di rumah, entah rebahan, baca
buku, menulis, merajut, melukis, menonton Netflix, dan sebagainya.
Masih tentang stay at home, aku
kemarin membaca beberapa halaman awal bukunya Desi Anwar yang berjudul The Art
of Solitude: Apa yang Kita Pikirkan Saat Kita Sendirian. Buku ini ditulis saat
Covid dan memang bagus sekali dibaca untuk menguatkan diri. Aku tidak mau
menjelaskan secara detail juga, sih, karena pasti akan ada reviewnya nanti. Aku
cuma ingin berbagi sebuah paragraf dari bab awal buku itu yang sampai sekarang
membuatku ter-wah-kan. Paham, tidak? Simak saja:
Namun, ada satu orang yang akan selalu
ada di dekat kita, baik kita suka atau tidak. Seseorang yang pasti selalu
menemani kita siang malam, selamanya. Sosok yang kita lihat setiap hari di
cermin, orang yang mungkin tidak kita sukai atau kita anggap tidak menarik
ataupun menyenangkan. Bahkan, kita mungkin mendapati bahwa orang ini memiliki
banyak kekurangan. Yang jelas, kekurangannya jauh lebih banyak daripada
kekurangan orang lain di sekitar kita. Orang di cermin itu tidak seperti orang
yang kita kagumi, tampak agak membosankan, bahkan kurang percaya diri dan
sering seperti tidak tahu apa yang dilakukannya. Dibandingkan dengan orang
lain, orang ini kadang dapat diterima, tetapi pada umumnya tidak membangkitkan
semangat dan tidak banyak hal yang dapat ditawarkannya kepada dunia. Sama
sekali bukan orang yang ingin kita kenal secara lebih mendalam.
Padahal orang yang di cermin inilah yang harus kita perhatikan,
bukan? Dia seringkali menangisi dunia yang kejam dan meringkuk di kamar dengan
tisu-tisu bertumpuk di keranjang sampah. Ia sering berpikir dan mengkhawatirkan
apa yang akan terjadi di masa depan, bahkan seringkali dia merasa ingin putus
asa. Dia kelelahan, tapi istirahat dengan tidur—yang ia kira akan membuatnya
lupa—tidak pernah berhasil. Dia tetap lelah tentang dunia, karena lelah yang
dia rasakan berada pada jiwanya.
Kita harus mulai mengenal orang yang di cermin itu, berjabat
tangan, merangkul, dan memberinya semangat. Dia memang sendiri, karena manusia
memang ditakdirkan untuk sendirian, tetapi dia bisa kuat dengan kesendiriannya.
Dia rapuh, tapi meski begitu, dia punya dirinya sendiri yaitu kita; yang sedang
menatap ia yang menatap kita.
Aku jadi ingat dengan temanku yang cerita kepadaku tentang
kesendiriannya. Dia baru saja sendiri karena beberapa saat lalu, dia masih
bersama dengan pacarnya—yang sekarang putus. Masalahnya cukup pelik karena
temanku ini diselingkuhi. Ketika dia cerita, aku sedikit bingung harus merespon
seperti apa, sehingga aku memutuskan untuk: mungkin nanti aku bisa menjabarkan
sedikit opiniku tentang permasalahanmu
lewat blogku. Tunggu saja.
So, aku menemukan sebuah fenomena: ketika kita jatuh cinta dan orang
yang kita cintai mencintai kita, lalu kita berpacaran dengannya, rasanya hidup
kita amatlah bahagia dan merasa juga bahwa sepertinya dia cukup, sepertinya aku
tidak membutuhkan siapa pun lagi karena he
is enough. Kemudian, saat hubungan kita memburuk dan pada akhirnya menjadi ‘putus’,
kita jadi terkejut dengan kesendirian yang sedang kita alami. Kita merasa
kesepian, tidak punya teman, bahkan support
orang disekeliling kita tidak bisa membantu: sama sekali lewat begitu saja.
Kita cuma butuh dia untuk kembali. Dia. Kita tidak tahu kalau tidak bersama
dia, kita bersama siapa.
Akhirnya kita mengambil konklusi bahwa kita butuh orang lain yang
jauh lebih baik untuk menggantikan dia. “Pasti kita bisa melupakan kalau
penggantinya bisa menyayangi kita dengan lebih baik.” Nah, berhubunganlah kita
lagi dengan orang lain. Lalu disakiti, putus, dan butuh orang lain lagi.
Siklusnya seperti itu terus.
Sepertinya orang-orang yang hanya bisa move on dengan kadatangan
orang lain seperti ini harus mencoba untuk menjaga jarak dahulu dengan
kedatangan orang baru. Aku tahu, pasti sulit, karena saat ini aku juga
mengalaminya—kamu tidak sendiri, kameradku. Kita harus mencoba untuk merangkul
diri kita lebih erat, mencintai diri kita lebih cinta, menyayangi diri kita
dengan lebih sayang. Caranya bagaimana? Kita punya jawabannya masing-masing dan
tanyakan pada diri kita sendiri.
Rangkullah kesendirianmu, kameradku tersayang.
“Fi, rasanya sumpek banget,” keluhnya sekali lagi. Kukatakan bahwa
tidak apa-apa baginya sekarang untuk meluapkan semuanya. Kamu bisa cerita ke
temanmu seperti yang kamu lakukan saat ini, kamu bisa meluapkannya dengan
menulis semua masalahmu di kertas lalu membakarnya, kamu bisa menangis, teriak,
apa pun yang bisa membuat lega.
“Aku ingin menangis.”
“Ya menangis saja,” jawabku—dengan entengnya.
“Tidak bisa. Kasih tahu aku caranya menangis, Aufi.”
Seriusan? Aku sedikit kaget sih, kalau menangis pun butuh tutorial
seperti halnya memasak. Aku jadi bingung, ini tutorialnya bagaimana? Kalau aku,
yang cengeng ini, gampang banget buat nangis. Cerita sedoh di buku, kucing
mati, ketemu orangtua yang renta tapi masih jualan di pinggir jalan yang panas,
gak bisa ngerjakan soal hitung-hitungan, bingung, gabut gak ada yang bisa
dilakukan, bosan, semua itu bisa membuatku menangis. Kalau tentang rangking
bisa seminggu, kalau tentang cowok bisa lebih dari itu. Murah banget air
matanya, yuk diobral, tapi saya tidak jualan.
Sepertinya memang ada sih beberapa kasus di mana seseorang sulit
untuk menangis. Sesaknya cuma ada di dada dan untuk dikeluarkan lewat tangisan
itu tidak keluar. Bingungggg, ini yang sedih siapa yang bingung siapa. Solusi terbaik
untuk mencari tutorial adalah Wikihow—wah dia penyelamatku. Kuketik cara
menangis, eh keluar. Kukirimkan saja tautannya ke Whatsapp temanku. Kamu mau
juga, gak? Cari sendiri lah!
Maaf, sih, kadang aku kalau dicurhati tidak bisa menanggapi dengan
proper karena menurutku saat teman bersedih itu kita mendengarkan dan paham
dengan kesedihannya saja sudah amat sangat cukup daripada mengeluarkan
kata-kata yang bisa memprovokasi dia untuk semakin benci dengan mantannya atau
bahkan kata-kataku itu merupakan toxic
positivity. Aku juga kadang kalau lagi curhat dan diberi kata-kata klise
tuh males. “Semangat, Aufi. Kamu bisa ngelaluin ini, kok. Semuanya akan
baik-baik saja,”—dan segala toxic
positivity lainnya. Daripada semangit gedeg dan budeg dengan kata-kata
malesi itu, akhirnya semakin ke sini aku semakin males curhat ke orang. Aku kan
punya blog, kenapa tidak curhat di situ saja? Yang membaca, siapa pun itu,
berarti orang yang mau mendengarkan dan memahami. Didengar dan dipahami itu
saja rasanya masyaallah enough. Gak usah
disemangati, gak mempan.
Aku jadi ingat kata-kata yang sering ditekankan Emma Chamberlain
dalam podcastnya yang bagian Advice Sessions; “Who cares?”. Everyone have their own problem, so who
cares with your problem? Tapi aku peduli-peduli saja sih sebenarnya.
Dicurhati juga tidak apa-apa, malah sangat open. Namun, untuk mencurhati, big no. Tidak ada yang bisa menguatkan
diriku sebaik diriku sendiri.
Sekali lagi, rangkullah orang yang di cermin itu; dirimu. Salam penuh
cinta dariku untukmu, kameradku.
Comments