BOOK REVIEW: SRIMENANTI
Judul buku : Srimenanti
Penulis : Joko Pinurbo
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 2019
Jumlah halaman : 138
Harga : Rp55.000
Joko Pinurbo merupakan seorang penyair yang masyur dengan
puisi-puisinya yang khas. Buku-buku puisinya juga telah banyak diterbitkan.
Srimenanti adalah judul novel perdananya yang terinspirasi oleh puisi Sapardi
Djoko Damono yang berjudul Pada Suatu Pagi Hari. Jokpin menghidupkan
ceritanya dengan menghadirkan para tokoh yang muncul saat dia mengagumi dan
memikirkan puisi Sapardi.
Maka pada suatu pagi hari ia
ingin sekali menangis
sambil berjalan menunduk sepanjang
lorong itu. Ia ingin
pagi
itu hujan turun rintik-rintik dari
lorong sepi agar ia bisa
berjalan sendiri saja sambil
menangis dan tak ada orang
bertanya kenapa.
Ia tak ingin menjerit-jerit
berteriak-berteriak mengamuk
memecahkan cermin membakar
tempat tidur. Ia hanya ingin
menangis lirih saja
sambil berjalan sendiri dalam hujan
rintik-rintik di lorong sepi pada
suatu pagi.
Jujur, saat membacanya aku juga merasa kalau aku menyukai puisi
Sapardi ini. Bukan hanya mencintai dengan sederhana, tapi juga menangis di
bawah rintik-rintik pada suatu hari agar tidak ada orang yang bertanya kenapa.
Cukup melankolis, ya? Pantas saja banyak yang mabuk puisi seperti tokoh-tokoh
di dalam buku Srimenanti. Saking mabuknya terhadap puisi, ada yang berjalan
pada suatu pagi di bawah rintik-rintik sambil menunduk lalu tak sadar menabrak
tiang listrik. Ada yang sampai dianggap gila karena menyebarkan aliran puisi
kopi. Ada juga yang menyanyikan puisi di tengah jalan pada suatu macet sampai
digiring polisi. Heran sekali, bisa sampai semabuk itu terhadap para puisi.
Meskipun Srimenanti ini sebuah novel, tapi permainan kata dan
deskripsinya masih menggunakan puisi. Jokpin juga tidak hanya memasukkan puisi
Sapardi, tapi juga puisi Rendra, lainnya, bahkan puisi-puisinya sendiri.
Rasanya aku sedang tidak membaca novel, tapi membaca buku puisi. Percakapan-percakapan
antara tokohnya yang berada di luar pembahasan puisi pun menggunakan kalimat
imajinatif seperti puisi. Beberapa menyindir tentang kopi, Jogja, senja, dan
angkringan yang bisa kita simpulkan itu khas Jokpin sekali.
Dalam hal penyajian kata dalam setiap babnya menurutku juga masih
seperti puisi. Rata-rata cuma berisi dua sampai tiga halaman dari setiap
babnya. Bahkan bisa saja buku ini selesai dibaca dalam sekali duduk seperti
buku puisi karena jumlah halamannya hanya 138. Sebenarnya tidak apa-apa karena
memang aku tidak mempermasalahkan, hanya saja menurutku masih terlalu pendek
untuk disebut novel. Namun, kalau dibaca asyik saja, kok. Permainan kata di
dalamnya ditulis dengan susunan dan konotasi yang indah.
Bab-bab dalam buku ini diselang-seling antara tokoh penyair dan
wanita pelukis bernama Srimenanti. Penyair menangkap keindahan dan
mencurahkannya lewat puisi, sedangkan Srimenanti mencurahkannya lewat
warna-warna dalam olesan kanvas. Terdapat juga bagian dari keduanya yang mengangkat
beberapa realitas hidup, misalnya tentang politik dan masyarakat sosial. Yang
kentara menurutku adalah munculnya tokoh yang gagal menjadi anggota legislatif
dan bagian ketika Srimenanti ditanya tentang aliran lukis apa yang dia pakai. Apakah
semuanya harus dikotak-kotakkan menurut aliran dan ideologi? Apa semua hal
harus diberi label? Tidak bisakah merdeka dan bebas?
Bisa lihat cover bukunya sekali lagi? Cover buku ini didominasi
oleh warna biru dengan seorang wanita yang memegang kuas dan terdapat burung
biru di atas kepalanya. Ini adalah lukisan dari Srimenanti—yang melukis burung
biru yang ada di dalam kepalanya. So far,
aku suka sih dengan covernya yang menurutku lumayan artistik.
Ada hal yang unik namun tidak kupahami dari novel ini, yaitu
kemunculan eltece. Dideskripsikan eltece ini adalah hantu tentara yang tidak
memakai celana (eltece/LTC: Laki-laki Tanpa Celana) dan alat kelaminnya
terpotong sehingga ujung-ujungnya meneteskan darah. Eltece ini sering
berteriak, “Sakit, Jenderal!”, tapi kemunculannya tidak menakutkan malahan
jenaka. Aku tidak tahu apa makna kemunculan tokoh ini, tapi tebakku ini
berhubungan dengan buku puisi Jokpin yang berjudul Celana.
Seperti halnya kasus ketika membaca puisi dengan level sastra yang
tinggi, aku tidak memahami ending dari cerita ini. Ya sudah, begitu saja.
Srimenanti hilang lalu ditemukan di jalan, di bawah lampu, sedang menanti
kemunculan eltece. Daripada overthingking
memikirkan maksudnya apa, lebih baik kunikmati saja permainan katanya.
Sekian ulasan singkat tentang Srimenanti. Thanks for reading!
Comments