A LETTER THAT WILL NEVER BE SENT #2
Untuk
Tuan yang baik hatinya, saya menulis ini ketika dini hari tiba; pukul satu. Saya
tiba-tiba terbangun dari mimpi, bukan karena sadar belum solat malam, bukan
pula karena belum menyelesaikan track Duolingo,
melainkan karena saya mimpi Tuan.
Saya mengucapkan maaf karena sudah tidak bisa langsung cerita
panjang lagi kepada Tuan tentang segala hal yang saya rasakan seperti dulu.
Saya biasanya bercerita, bukan? Tentang buku yang baru saya baca, tentang video
yang baru saya tonton dari Youtube, tentang film rekomendasi Tuan yang baru
saja saya tonton. Tuan sering berkata kepada saya, “kalau sudah baca, ceritakan
ke saya pakai sudut pandangmu”. Kau tidak pernah keberatan dengan cerita-cerita
saya yang berisik dan ekspresif, malahan kau suka. Kau selalu menanti
cerita-cerita dadakan saya, yang selalu diawali, “PERMISI MAU DONGENG!”.
Kadang, tatkala saya merasa tidak enak karena kau selalu menjadi pendengar yang
baik, saya minta maaf dan kau mengelaknya dengan berkata demikian, “Hei, apaan
sih kamu?! Kan saya suka dengan cerita-ceritamu.”
Hari-hari berlalu, musim telah berganti, dan waktu berjalan
mengubah semuanya.
Hingga seperti saat ini, saya tidak bisa menceritakan mimpi saya
tentangmu langsung kepadamu, Tuan.
Beginilah mimpi saya:
Saya sedang kesulitan mengerjakan sesuatu di depan laptop saya,
bingung dan misuh-misuh sendiri. Saya pusing, ingin menyerah, tapi tiba-tiba
kau menepuk pundak saya (seperti yang biasa kau lakukan untuk memanggil saya).
Kau bertanya, “Ada yang bisa saya bantu?”. Bukannya berkata iya, dengan
ekspresifnya saya bilang, “Kenapa tidak dari tadi? Beneran mau bantu? Sini
duduk di samping saya!”
Tuan tahu kalau saya selalu ekspresif pada apa pun. Tukang panik.
Spontan. Dan segala sikap enigma yang membuat tidak ada satu pun cowok yang
betah bersama saya. Tapi kau lain, Tuan. Kau selalu bersama saya, mendampingi
dengan sabar. Ah, memang tipikal spontan dan berisik seperti saya selalu cocok
dengan orang yang sabar—kata Google.
Lalu, saya terbangun dari mimpi dan sadar kalau Tuan tidak lagi
berada di samping saya. Tuan di mana? Saya terus-terusan bertanya di dalam
kepala. Apakah Tuan tenggelam karena terseret arus Kuroshio? Atau lenyap
terbawa siklon tropis? Tuan, jangan hilang tiba-tiba seperti bookmark buku saya!
Saya ingin marah kepada Tuan dengan mengerutkan dahi dan melempar
barang-barang dengan emosi. Tapi sebelum saya melakukan itu, saya tersadarkan
lagi kalau tidak akan ada orang yang menanyakan, “Kamu kenapa?” selembut yang
Tuan tanyakan kepada saya. Jadi, saya memilih untuk bertanya-tanya sembari
menangis di pojok ruangan gelap.
Tuan, tidak ada yang bisa mengerti saya sebaik engkau. Tidak ada
yang paham dengan saya selihai engkau. Tidak ada, jadi saya cuma butuh kau
sekarang.
Tidak bisa. Tidak ada lagi.
Kau sudah lenyap seperti bebatuan setelah proses metamorfosa.
Tidak ada lagi Tuan dalam hidup saya, karena seperti yang saya bilang pada
surat sebelumnya, Tuan sudah meninggalkan saya. Pada hari Tuan kembali, saya
sudah mati sejak lama. Tuan hanya bisa mendapati saya hidup dalam hati Tuan.
Melankolis sekali tulisan saya sekarang. Kalau Tuan berada di
depan saya, pasti Tuan berkata “tidak apa-apa, kan begitulah cara kamu
mengekspresikan kesedihan.” Tidak ada. Tidak ada lagi yang berkata demikian.
Ah, Tuan. Sayang sekali kita belum (tidak akan) bisa menunaikan
perjanjian dan rencana yang kita buat bersama. Menulis surat kepada Santa lalu
mengirimkannya ke Lapland, kabur ke Jogja untuk menonton gamelan, terbang ke
Norwegia untuk meminta tanda tangan Jostein Gaarder sebelum beliau meninggal
dunia, menangkap penguin di Afrika Selatan, naik balon udara di Kapadokia, dan
menulis buku tentang kisah kita.
Tidak lagi, Tuan.
Kau sudah lenyap seperti hutan menjadi gurun. Tidak ada lagi yang
mendengar kisah-kisah spontan saya. Tidak ada lagi engkau yang sabar dan
tersenyum menatap saya. Saya tidak tahu di mana kau berada, tapi saya di sini
berdoa dan menitipkan kau kepada Tuhan supaya kau tidak diliputi kesedihan.
Biar saya saja yang sedih, Tuan jangan.
Comments