A LETTER THAT WILL NEVER BE SENT
Untuk
Tuan yang baik hatinya, saya tuliskan ini ketika hujan di malam tiba. Tidak ada
langit cerah yang membuka cakrawala perbintangan, sehingga saya menuliskan ini
sebagai pelipur lara.
Dia bukan mawar biasa. Dia satu-satunya
yang ada di dunia. Aku ingat dia. Aku ingat semua tentangnya. Dia tidak pergi. Dia
masih di sini. Dia selalu di hati yang mana tidak bisa dilihat oleh mata. Dia akan
selalu bersamaku.
Saya selalu menangis ketika Little Prince mengucapkan
kalimat-kalimat itu saat mawarnya mati. Ini sudah rewatch berapakali? Empat? Lebih dari itu mungkin? Saya tidak
peduli berapa banyak karena saya tidak akan pernah bosan mendengar, menonton,
atau membaca kisahnya. Kisah legendaris yang akan terus saya ingat.
Pernah suatu kali saya menuliskan percakapan-percakapan di dalam
kepala saya tentang dia. Tentang kepercayaan saya terhadap eksistensinya—dia memang
eksis, saya selalu mendengar tawanya saat menatap langit dan bintang. Saya mendengar
suaranya tergelak dengan jelas, melihat bayangan lari-larinya dengan nyata. Tanpa
keraguan, Tuan, percayalah pada saya kalau dia ada.
Percakapan yang saya tuliskan tanpa pikir panjang karena mengalir
lewat kepala ke tangan ternyata berbunyi seperti ini: “saya tahu Pangeran Cilik
yang kamu maksud adalah konotasi.” Tuan, oh, saya tidak bisa berbohong kalau
Pangeran Cilik yang saya maksud selama ini—yang selalu saya rekomendasikan
untuk dibaca teman-teman saya yang ingin membaca buku bagus—sebenarnya adalah
konotasi dari…
saya tidak mau menutupinya lagi karena konotasi itu mengacu pada
kau, Tuan.
Tuan tidak percaya? Bukannya saya pernah mengatakannya langsung
kepada Tuan? Tuan lupa? Ah, Tuan, janganlah engkau melupakannya. Tetaplah ingat
karena saya akan lenyap bersama kelupaan-kelupaan Tuan terhadap kenangan
tentang saya kalau begitu. Tuan janganlah melupa, janganlah seperti orang
dewasa! Bukannya Pangeran Cilik yang saya kenal tidak menyukai
tindakan-tindakan menyebalkan orang dewasa?
Tuan masih enggan percaya dengan tulisan saya, saya tahu dari
bagaimana engkau mengerutkan dahi dan menatap saya dengan keraguan. Tuan,
bukannya saya pernah menuliskan sebuah surat kecil yang tergulung dan
terbungkus kantong kecil, bertuliskan: what
is essential is invisible to the eyes—apa yang terpenting tak tampak di
mata. Itu adalah perkataan rubah, engkau ingat? Karena hanya dengan hati kita
bisa melihat semuanya.
Saya selalu membuat konotasi diri sendiri sebagai rubah. Rubah
yang meminta agar dijinakkan, tapi Tuan sendiri mengatakan bahwa Tuan sudah
dijinakkan oleh mawar yang menanti Tuan di asteroid kecil itu. Sebenarnya saya
begitu cemburu ketika mengetahuinya, tapi tidak apa, Tuan. Saya dengan rela dan
ikhlas menerimanya. Lalu, pada akhirnya engkau setuju untuk menjinakkan saya. Tentu
kau melakukannya dengan begitu mudah. Engkau juga meninggalkan saya setelah
itu.
Pernah juga saya menjadikan diri sendiri sebagai konotasi mawar. Yang
engkau tunggu kemekarannya dengan sabar, bukan? Meski saya cerewet, kau tetap
mengajak saya menonton senja. Kau tetap menyirami saya dengan tulus. Saya selalu
terbatuk untuk menyembunyikan kecanggungan yang saya rasakan, tapi kau peka
tentang itu. Ah, Tuan.
Saya tidak tahu harus mengkonotasikan seperti apa lagi karena
kisah ini tidak lagi relevan dari segi manapun. Apa saya bisa mengkonotasikan
sebagai mawar lagi, yang meninggalkan engkau, Tuan? Saya tidak berniat
meninggalkan engkau, tapi kaulah yang meninggalkan saya. Ketika kau kembali,
kelopak saya sudah berguguran dan saya pun telah mati sejak lama. Kau terlambat
kembali, Tuan.
Saya tidak bisa kembali lagi. Saya tidak bisa hidup, terbatuk
canggung, atau kau ajak menonton senja lagi. Tapi kamu tahu kalau saya masih
ada—yaitu di hatimu. Selamanya, bukan? Jangan berjanji, jangan mengatakan take my words, karena saya tidak bisa
mengambil janji-janji yang pada akhirnya akan engkau langgar suatu hari nanti.
Ya, pada akhirnya kisah saya selesai, sebagai mawar yang mati dan
sebagai rubah yang ditinggal pergi. Terimakasih Tuan, terimakasih setidaknya
engkau pernah menunggu saya dengan sabar. Terimakasih telah menemani saya
mekar. Terimakasih telah tidak menyingkirkan saya seperti engkau menyingkirkan
pohon-pohon baobab yang tumbuh liar di planetmu. Terimakasih untuk segalanya. Sekarang,
saya tinggal debu.
Salam
Mawar yang mengira dirinya rubah dan sebaliknya
Hilma Aufiana
Comments
Please, just continue write this love story, I’m so curious with what will happen for the next
Atau malah sudah kebaca?
Atau—apakah kamu sang Tuan?