BOOK REVIEW: JAKARTA SEBELUM PAGI
Hello, comrades!
I want to share you a review of the book
that viral on Litbase at Twitter. What a book?—of course you already known from
the title and cover above; Jakarta Sebelum Pagi. It will be difficult if I
write the review with English, so it’s time to switch our language into Bahasa.
Firstly, before we started, I want to
give you not-important information: sekarang saya lebih suka pakai kata ganti pertama ‘saya’ daripada
aku. Jadi, saya akan mulai pakai ‘saya’ saja, paham?
Buku pertama Ziggy yang saya baca adalah Semua Ikan di Langit dan
saya juga telah menulis review-nya di sini. Buku pertama itu membuat saya jatuh
cinta pada penulis ini dan merasa harus membaca karya-karyanya yang lain.
Kebetulan, karya Ziggy juga sering disebut di suatu base di Twitter yang membahas tentang dunia perbukuan/literasi di
Indonesia, dan ketika observasi saya menemukan Jakarta Sebelum Pagi banyak
disebut.
Emina adalah tokoh utama dari buku ini. Namanya memang seperti
merk kosmetik, tapi sebenarnya nama itu diberikan orangtuanya berdasarkan puisi
dari Serbia. Karakter Emina dituliskan Ziggy sebagai seorang yang begitu
energik, suka ngomong dan mengutip kata-kata dari buku maupun film, serta suka
membicarakan babi. Tidak hanya membicarakan babi, tapi dia suka melabel orang
dengan kasta babi: babi asap, babi steril, babirusa, dst. Hal ini disebabkan
karena dia menyukai buku George Orwell yang berjudul Animal Farm. Dia membaca
buku itu atas rekomendasi seorang kakek yang rumahnya berada di samping rumah
Para Jompo (sebutan Para Jompo mengacu pada Datuk, Nenek, dan Nin); kakek itu
dia panggil Pak Meneer.
Kehidupan Emina semakin tidak biasa ketika dia menemukan sebuah
balon perak di balkon apartemennya dan ketika dibuka, balon itu berisi kelopak
bunga hyacinth—yang ada juga dalam
puisi Emina. Sebut saja pengirimnya adalah stalker; dan Emina sudah dilarang
mencari tahu atau mendekati stalker ini oleh rekan kerja yang dipanggilnya Yan Pi (babi asap). Emina—yang keras
kepala—tentu saja tetap mencari tahu. Dia berkonklusi kalau pengirimnya ini
pasti mengetahui tentang namanya, puisi tentangnya, dan bunya hyacinth. Hipotesisnya, stalker ini
mengenal Pak Meneer karena Pak Meneer tahu banyak tentang puisi Emina dan
mereka berdua sering berbincang-bincang. Lalu, teringatlah Emina kepada seorang
anak laki-laki, cucu Pak Meneer yang pernah dia temui dulu sekali.
Pencariannya terhadap seorang stalker ini membuat ia bertemu
dengan Suki, gadis cilik berotak dewasa yang mengurus toko bunga dan teh di
lobi apartemen. Pada akhirnya, ketahuan juga kalau Suki lah yang mengirim balon
itu—tapi bukan dia stalkernya, melainkan dia disuruh seseorang. Ketahuan juga
ternyata penyuruhnya tinggal di apartemen di lantai yang sama dengan Emina,
namanya Abel; dia adalah cucu Pak Meneer dan dia fobia sentuhan serta suara.
Fobia Abel bukannya tak beralasan. Dia adalah korban perang
Aljazair yang diselamatkan oleh Pak Meneer dan dibawa ke Belanda sebelum ke
Indonesia. Penderitaan akibat perang masih membekas sehingga fobia itu sulit
sekali dihilangkan. Emina—yang pada akhirnya berteman dengan stalkernya
sendiri—tidak keberatan dengan fobia itu meski dia takut tiba-tiba reflek
berteriak atau menyentuh Abel dan membuat laki-laki itu mati mendadak.
Kisah detektif selain penelusuran “siapakah stalker?” adalah
pencarian nama-nama yang terdapat di surat yang tertulis di belakang buku-buku
Pak Meneer. Abel menyobek surat yang tertulis di sana dan mengumpulkannya lalu
mengirimkan surat itu bersama balon perak yang diterbangkan menuju Emina. Di
dalam surat itu juga terdapat tempat-tempat di Jakarta pada zaman Hindia
Belanda dan mereka memutuskan untuk mendatangi tempat-tempat di dalam surat.
Karena Abel fobia suara (Jakarta bising), mereka berdua akhirnya pergi pada
dini hari (asal usul berjudul Jakarta Sebelum Pagi).
Pencarian mereka semakin memperoleh titik terang ketika Suki ikut
serta. Dia mengetahui referensi surat tersebut, dari buku Tom Midnight’s Garden
karya Philippa Pearce. Ketika ditelusuri ke Pak Meneer ternyata nama Pak Meneer
berakhiran sama dengan penulisnya dan ternyata surat-surat cinta melankolis itu
ditujukan Pak Meneer kepada kekasih yang sekarang sakit dan dia rawat di sebuah
kamar tertutup dengan mesin penunjang kehidupan. So, at the end, Pak Meneer memutuskan untuk merelakan kekasihnya
dan mencabut mesin-mesin itu sehingga kekasihnya pun meninggal.
Di akhir cerita, Abel dan Emina melaksanakan perintah terakhir Pak
Mener terakhir surat itu, yaitu membakarnya. Karena mereka berdua tidak ingin
surat-surat itu lenyap begitu saja, mereka memutuskan untuk menerbangkan
surat-surat itu dengan balon helium sebelum pagi—dini hari. Mereka harap,
seseorang akan menemukannya dan menemukan kisah di baliknya seperti yang telah
terjadi pada mereka berdua.
Buku ini bisa disebut genre roman tidak, sih? Sepertinya bisa,
karena berisi kisah cinta Pak Meneer yang sangat menarik dan kisah Abel dan Emina juga
bagus. Ziggy menyajikan kisah cinta mereka dengan begitu unik dan penuh komedi.
Suka sekali dengan gaya bahasa blak-blakan Emina. Semoga kamu tertarik untuk
membacanya juga!
Comments