CROISSANT, KRISAN, DAN NISAN
CROISSANT, KRISAN, DAN NISAN
Pagi itu Anne
meminum teh chamomile dengan celupan
dua lembar daun mint. Tak lupa pula biskuit rendah kalori dan sugarless yang jadi favoritnya. Buku
Pride and Prejudice karya Jane Austen dia pangku sembari dengan tenang dan
sedikit demi sedikit menyesap tehnya. Dia memakai dress berwarna hijau gelap
yang bermotif floral berwarna hitam. Sesekali dia menengok denting jam—gadis
itu sangat tepat waktu—karena dia sedang berencana untuk ke perpustakaan publik
pada pukul delapan.
Kurang lima
belas menit, dia segera beranjak dan berpamitan ke mamanya. Mama juga berpesan
agar sepulangnya, Anne membeli rempah-rempah seperti kayu manis, lada, pala,
dan ketumbar di toko ramah lingkungan yang antiplastik sehingga gadis itu harus
membawa totebag berisi toples-toples
kecil untuk nantinya diisi dengan beragam rempah. Sebelum berangkat, dia ambil
salah satu buku tetralogi Pramoedya Ananta Toer untuk dia baca di perpustakaan
nanti. Kenapa tidak meneruskan Pride and Prejudice? Kawan, Anne adalah tipe
pembaca yang suka lompat-lompat cerita dari satu buku ke buku lainnya.
“Ma, Anne ke
toko pak Raja dulu. Titip sesuatu?” tanya Anne kepada Mama yang sedang
memangkas daun-daun bonsai bougenville
di taman depan.
“Nee, sepertinya gak usah. Maar, kamu mau beli apa?”
“Krisan.”
“Oh, ya sudah.
Belikan mama buket mawar putih yang cantik—ingat, bungkus buketnya pakai koran
saja. Dank je!”
Anne lalu
mengambil sepeda mini dan menaruh buku serta totebag di keranjangnya. Setelah itu, dia mulai mengayuh sepeda
menuju toko bunga milik pak Raja yang searah dengan perpustakaan kota.
Kasusnya, selalu saja di mana pun dia berada, dia selalu menjadi pusat
perhatian. Bahkan walau dia bersepeda biasa di pinggir jalan. Tentu hal ini
dikarenakan oleh ras belandanya. Sedih. Apalagi gaya berpakaiannya yang sangat
mirip noni Belanda zaman dahulu—dress, topi, sarung tangan, serta flatshoes. Tidak jarang dia dihentikan
oleh orang-orang pribumi yang meminta foto demi kelancaran likes di Instagram. Kadang dia risih, tapi dia selalu menampilkan
senyum tulus yang mungkin sepadan dengan senyum legendaris Annelies yang dapat
menyihir seorang Minke.
“Krisan warna
ungunya satu buket, pak,” kata Anne kepada pak Raja—pria pemilik toko bunga
kecil di sudut kota itu.
“Saya pesan
sebuket mawar putih juga untuk Mama. Diambil nanti sekitar pukul empat sore,”
lanjutnya.
“Baik, nona,
siap! Erlin!!” ucap pak Raja seraya memanggil karyawatinya yang bernama Erlin
untuk menyiapkan bunga-bunga Anne. Setelah mendapat krisan ungu yang diinginkan,
gadis blasteran Belanda-Prancis yang neneknya kembali ke Indonesia pada tahun
1970-an usai cabut saat bangsa Nippon datang ini lalu keluar dari toko bunga.
Krisannya dia ciumi dulu sebelum meletakkannya di keranjang. Kemudian, sekitar
500 meter mengayuh, dia berhenti lagi ke sebuah restoran bergaya Prancis milik
ayahnya.
“Ayah!”
sapanya ke seorang pria jangkung yang sedang berkeliling mengecek dapur.
“Eng…” Anne
menggantung sambil senyum-senyum.
“Seperti
biasa, kan?” tanya ayah kepada Anne yang dibalas anggukan. “Marius, siapkan dua
croissant dengan lelehan coklat dan matcha,” perintah sang ayah kepada koki
prancisnya.
“Pasti buat
Anne tercinta yang hendak menyendiri di perpustakaan,” ucap Marius.
“Cakep!” sahut
Anne sambil mengacungkan dua jempol. Ayahnya mengusap-usap kepala Anne sambil
mengajak gadis cantik 15 tahunnya itu untuk duduk di kursi restoran yang kosong
sembari menunggu croissant-nya matang.
“Anne, coba tebak
ayah sedang baca buku apa!”
“Ada clue?”
“Ronggeng,
Dukuh Paruk, pemberontakan PKI, Ahmad Tohari.”
“AYAH ITU
BUKAN CLUE LAGI! Itu memberi tahu. SEPENUHNYA!” ucap Anne dengan gemas.
“Apa dong
judulnya?”
“Ronggeng
Dukuh Paruk.”
“Yah, mudah
ketebak ya?”
“Tau ah. Coba
sekarang Anne yang bikin tebakan. Tadi pagi Anne baca buku apa?”
“Jejak Langkah
karya Pramoedya.”
“Itu habis ini
bacanyaaaa. Tadi pagii!”
“Ada clue?”
“Mr. Darcy.”
Anne tahu
ayahnya sedang pura-pura berpikir keras.
“Anne baca
buku romans yaaaa…” ucap ayahnya dengan jahil.
“Ayah, Anne
sudah 15 tahun. Garis bawahi 15 tahun, okey? Jadi membaca Pride and Prejudice
biasa saja kali. Anne bahkan kepikiran untuk mencari pacar di SMA,” ucap gadis
itu yang memberi tahu dengan tegas kepada ayahnya bahwa setelah ini dia akan
menjadi remaja dan dewasa.
“Anne tetap
cinta ayah?”
“Astaga ayah…”
gadis itu lalu mengecup pipi ayahnya dengan singkat, kemudian pergi ke arah
Marius untuk mengambil kotak croissant hangat
yang sudah matang. Ketika akan menaiki sepeda, dia bingung karena keranjangnya
sudah sangat penuh; dengan toples-toples rempah, buku tebal, dan bunga krisan.
Alhasil, dia menyetir sepedanya dengan satu tangan dan tangan lainnya memegang
boks berisi roti prancis kesukaannya.
***
Dari tempat
parkir menuju pintu masuk perpustakaan, Anne ribet sekali dengan barang
bawaannya. Tangan kiri menyelempang totebag
berisi toples-toples kecil dan membawa buku Pramoedya. Tangan kanan membawa
boks croissant dan sebuket krisan
yang lumayan besar. Repot sekali. Tapi rencananya, totebag tadi akan dia taruh
ke loker penitipan barang perpus. Sehingga ia nanti bisa membaca dengan tenang
sembari dikelilingi percampuran antara aroma buku, croissant, dan bunga krisan.
Namun, baru
beberapa meter dia berjalan dari parkiran, dia menemukan seorang anak yang
hampir sama ribetnya seperti dia. Anak laki-laki berusia sembilan tahun,
berbaju putih polos dan celana pendek berwarna kuning cerah. Ia membawa
akuarium bundar kecil—yang cukup besar untuk anak seusianya—berisi lima ekor
ikan mas koki beraneka warna yang gendut-gendut dan menggemaskan.
“Halo! Mau ke
mana?” sapa Anne.
“Ke kakak!”
“Maksudnya?”
“Mau
menghampiri kakak yang kerepotan tapi aku sendiri kerepotan.”
Lucu sekali, batin Anne.
“Ke
perpustakaan?”
“Tidak tahu.
Hanya keliling saja dengan teman-teman kecilku.”
“Wahhhh. Teman-teman
kecilmu siapa namanya?”
“Harusnya
kakak tanya namaku dulu.”
Anne terkikik
geli, “Benar,” katanya kemudian.
“Namaku Musa.
Tabiatku tidak seperti Musa utusan Yang Mahakuasa, melainkan cuma Musa kecil
yang nakal.”
“Kamu ngaku
sendiri kalau nakal?”
“Tentu tidak.
Maksudku, aku anak yang baik dan sangat menggemaskan.”
“Oh, baiklah,”
kata Anne sambil memutar bola matanya karena kok ya ada anak seperti itu? Setelahnya, dia mengajak Musa ke kursi
yang ada di dekat sana—tidak mengajak Musa ke dalam perpus karena takut air
dalam akuarium bundarnya bisa tumpah dan menodai lantai perpus atau membasahi
buku kalau misal ditaruh di meja.
“A, B, C, D,
E.”
“Ha?” Anne
kebingungan.
“Itu nama-nama
mas kokiku.”
“O-oohh…”
balas Anne mencoba paham.
“Ayah dan
ibumu di mana?” tanya Anne lalu mencoba memandangi sekeliling, mungkin ada
mobil atau kendaraan orangtua si Musa. Tapi, tidak ada siapa pun. Perpustakaan
juga masih sepi di jam segini.
“Sendirian,”
Musa berkata.
“Rumahmu?”
Musa
menggelengkan kepalanya.
“Kamu tersesat?”
tanya Anne, serius. Musa hanya diam.
“Orangtuamu
akan mencarimu! Sepagi ini pula, sejak kapan kamu berkeliaran hingga sampai
sini? Rumahmu di mana sih?”
“Tidak tahu.”
Anne
menghembuskan nafas gusar. Perasaannya bercampur aduk antara bingung, khawatir,
dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yah, mungkin sangat bisa kita tebak.
Pada akhirnya, karena Anne adalah gadis yang baik, dia pun memutuskan untuk
mengantarkan Musa pulang. Namun sebelum itu, agar ia tidak kerepotan, ia menuju
ke dalam perpustakaan dulu untuk menitipkan barang-barangnya. Di sana, dia
bertemu dengan salah satu pustakawati yang sudah akrab dengannya.
“Mevrouw
Asiyah,” sapanya ke Bu Asiyah—sebenarnya wanita itu biasa dipanggil “bu”, tapi
karena Anne keturunan Belanda, Bu Asiyah yang narsis itu meminta dipanggil
Mevrouw olehnya.
Mevrouw Asiyah
tidak menjawab Anne. “Mevrouw? Permisi… Mevrouw? Bu Asiyah?” Masih belum
dijawab. Wanita paruh baya itu masih berkutat dengan komputer dengan kacamata
yang melorot. Ah, mungkin Mevrouw sedang tidak ingin diganggu dan mungkin juga
di balik jilbab merah muda panjangnya itu, ada dua earphone yang tersumpal di telinganya. Meski ini tidak etis dalam
penyambutan pengunjung perpustakaan, tapi yah, semua orang bisa melakukan
kekeliruan. Akhirnya, Anne meletakkan saja totebag, buku, dan bunganya di atas
meja resepsionis Mevrouw Asiyah. Mevrouw sangat tahu kalau Anne menyukai bunga
krisan karena selalu membawa bunga itu untuk teman baca buku di perpustakaan.
Beberapa hari lalu, Mevrouw dan Anne juga berbincang tentang karya Pramoedya.
Jadi, meski tidak menanggapi karena kesibukannya, Mevrouw pasti tahu kalau
barang-barang itu milik Anne.
Anne kembali
ke bocah kecil tadi yang masih duduk di kursi dengan akuarium bundar penuh ikan
mas koki. Okay, dia masih menemukan satu kendala. “Musa, kalau kita pakai
sepeda, aku takut kita akan kesulitan membawa akuariummu.”
“Siapa yang
mau pakai sepeda?” tanya Musa balik, polos sekaligus menjengkelkan.
“Lalu? Pakai
bus? Oke, tidak apa-apa kita pakai bus. Tunjukan saja rumahmu di mana dan kita
cari bus dengan trayek menuju ke sana.”
“Kita jalan
kaki saja.”
“Rumahmu
dekat?”
“Lumayan.”
“Tapi Musa,
karena aku lapar, kita makan croissant dulu.
Kamu pasti juga lapar. Sebentar,” Anne membuka boks croissant-nya yang berbau lezat dan memberikan satu dari dua croissant itu ke Musa. Satunya lagi dia
makan.
“Enak, tapi
aku punya croissant yang lebih enak
di rumahku.”
APA?! Mana ada
di dunia ini croissant yang lebih
enak selain dari restoran ayahnya? Buatan koki terkenal dan bersertifikat dunia
seperti Marius pula! Ah, bohong.
“Benarkah?
Boleh nanti aku nyoba?” tanya Anne meski dia tidak percaya dengan keberadaan croissant yang lebih enak.
“Ya, ada
banyak sekali. Kamu boleh makan sepuasnya.”
Anne hanya
tersenyum menanggapi perkataan Musa yang pasti cuma bualan.
***
Lima menit
berlalu, mereka masih berjalan kaki menuju rumah Musa. Perjalanan itu lambat
sekali karena Anne harus mengimbangi langkah kecil penuh kehati-hatian Musa
yang juga membawa akuarium bundarnya. Lalu, sepuluh menit berlalu, matahari
semakin terik.
“Musa, kakak
saja yang bawa akuarium itu bagaimana? Biar kita bisa berjalan lebih cepat.”
“Ini ikanku,
ini tanggung jawabku,” jawab Musa—ngerti
apa anak itu soal tanggung jawab?
“Tapi tidakkah
tanganmu pegal? Nanti kalau terlalu pegal hingga gemetaran, kamu bisa saja
menjatuhkan ikan-ikanmu.”
“Tidak.”
Anne akhirnya
mengalah dan menuruti bocah keras kepala yang mendeskripsikan diri sendiri
sebagai anak nakal itu. Namun, bukannya ini sudah hampir satu jam dan mereka
belum tiba di tujuan? Kata Musa, rumahnya tidak terlalu jauh, makanya tidak
pakai bus. Kenapa tidak sampai-sampai?
“Musa, kenapa
belum sampai?”
“Kak Anne
capek?”
“Tentu!”
Musa
menghentikan langkah—yang juga diikuti oleh Anne. “Tapi kita tidak boleh
istirahat. Kita harus sampai di sana tepat waktu. Sudah banyak yang menunggu
kita!”
“Memang!
Kenapa kamu bikin ulah dengan tersesat segala di pagi hari, sih, Musa? Membuat
orang bingung saja.”
Musa hanya
tersenyum. Kemudian melanjutkan langkah. Dua jam… tiga jam… berjam-jam pun
berlalu. Lama-lama, Anne yang sabar itu pun bisa kesal. Anehnya, Musa tidak
terlihat lelah sama sekali padahal ia juga memegang akuarium yang cukup berat
kalau dibawa anak seusianya.
“Kak Anne tahu
kita sekarang di mana?” tanya Musa, kemudian. Anne mengedarkan pandangan ke
sekeliling dan baru menyadari kalau tempat itu sama sekali asing. Entah kenapa
dia tidak fokus?! Perkotaan sudah lenyap. Sekarang, jalanan di kelilingi
pepohonan dan bunga-bunga wisteria.
“MUSA, KITA DI
MANA?” Anne panik karena tidak lucu kalau
demi menolong anak kecil yang tersesat, dia ikut tersesat!
“Tidak di
mana-mana, kak Anne. Hanya menuju ke sana.”
“Perjelas
ucapanmu, Musa. Plis, jangan bercanda dan nakal di saat-saat seperti ini. Apa
kamu tahu betul arah jalan pulang?”
“Tahu betul.
Sepenuhnya. Dan kita berada di jalan yang benar.”
Anne pasrah
karena kalau dia putar balik pun, dia tidak tahu jalannya. Pilihan satu-satunya
hanya terus maju, meskipun arah di depan sangat bluram dan tidak diketahui.
Anne jadi mulai berpikir tentang perandaiannya yang sedang duduk di perpustakaan
dengan dunia fiksi Pramoedya. Dia juga jadi rindu aroma-aroma menyenangkan dari
krisan-krisannya.
Dia terus
berjalan, kelelahan, dan seperti mau pingsan. Namun ketika melihat Musa yang
tegak dan terus maju, dia tidak bisa terus-terusan begitu. Anak kecil saja
bisa, kenapa dia tidak? Jadi, dia memaksakan diri untuk terus berjalan. Jam-jam
terus berlalu, Anne masih terus bertanya-tanya dalam pikirannya, tapi tidak
punya energi yang cukup lagi untuk protes.
***
Anne jatuh
cinta pada bunga krisan sejak dia masih kecil. Mamanya selalu membawa Anne ikut serta saat hunting bunga, baik di toko pak Raja atau toko bunga lain di
kotanya. Mama orang yang selalu membeli bunga mawar putih, meskipun dengan
tambahan bunga lain seperti lily, tulip, aster, mawar merah, dan sebagainya.
Hingga pada suatu hari, Anne kecil ingin membeli bunga juga. Dengan mata
berbinar karena sang anak mulai ikut menyukai apa yang ia sukai, mama bertanya
ke Anne, “Bunga apa yang menjadi cinta pertamamu, Anne?”.
“Krisan. Warna
ungu.”
Sejak saat
itu, vas bunga di kamar Anne selalu terisi bunga cantik itu. Dia tak pernah
bosan menciumi kelopaknya yang wangi. Tidak sekuat melati, tapi lembut dan enak
sekali. Anne juga sering mencari tahu tentang bunga krisan. Makna dari bunga
ini adalah cinta, persahabatan… dan hal lain yang membuat hatinya semakin
mencintai krisan. Hingga pada suatu hari, ketika di perpustakaan, dia menemukan
sebuah buku kamus arti bunga saat masa Ratu Victoria. Satu lagi, Anne sangat
menyukai kisah dan segala hal yang terjadi pada era Victoria. Jadi, Anne
mengambil buku itu dan langsung mencari kata Chrysanthemum.
Anne terkejut
dengan arti itu! Jadi, selama ini, bahasa cintanya yang berupa krisan itu
bermakna duka? Kesenangan-kesenangan saat ia membawa buket bunga krisan dari
toko pak Raja… ia membawa bunga duka cita? Anne tidak menyesal, tidak, bukan
menyesal. Dia hanya heran karena dia senang akan makna duka. Anne juga tak
menghindari bunga krisan lagi meski tahu itu bunga duka cita. Dia malah makin
mencintainya, karena kematian, menurutnya adalah sesuatu yang dekat dengan
manusia. Dia merangkul kata pedih itu. Hari demi hari, lalu ia mulai membaca juga
buku-buku tentang kematian. Stoisisme, Seneca, konsultasi juga dengan pendeta…
***
Anne dan Musa
berhenti di sebuah ladang yang penuh dengan bunga krisan berwarna ungu. Anne
senang bukan main. Dia melompat-lompat, menciumi kelopak satu dengan lainnya,
memetik tangkainya, dan membawa bunga-bunga itu di lengannya. Dia suka sekali
dengan tempat itu. Dia lalu berbaring, merasakan kasur empuknya yang berupa
kelopak-kelopak krisan.
“Musa, kenapa
kamu tidak mengatakan ada tempat seperti ini di bumi? Hei, kalau begitu aku tidak
akan mengeluh sedikit pun!” kata Anne, dengan antusias dan senang.
“Kalau aku
mengatakannya, apakah kakak percaya? Kalau percaya pun, pasti kak Anne akan
berlari dan meninggalkanku yang melangkah dengan kaki kecil.”
“Astaga, Musa.
Maafkan kak Anne, ya!”
“Tidak usah
minta maaf, kak Anne. Aku mau menunjukkan sesuatu.”
Lima ekor ikan
mas koki yang ada di akuarium bundar milik Musa berloncatan dari tempatnya.
Satu persatu meloncat tinggi sekali, sampai sekitar enam meter. Seperti kembang
api, mereka berkilauan! Mereka berputar, semakin terang dan berkilauan,
membesar, lalu berjatuhan. Saat mendarat, mereka berubah menjadi anak-anak
kecil berumur lima tahun. Tiga perempuan, dua laki-laki. Ditambah Musa,
totalnya ada enam anak-anak!
Keenam anak
itu tertawa kegirangan, mengelilingi Anne dan mengajaknya bermain seperti Putri
Salju dan tujuh kurcaci (tapi sekarang enam). Mereka bermain petak umpet,
hompimpah, kejar-kejaran, dan berbagai keseruan lainnya. Anne tidak terlalu
bertanya-tanya tentang keajaiban seperti itu, seperti yah, terjadi saja.
Seperti kisah keajaiban yang akrab dan sering ia temui dalam buku-buku, namun
kali ini, dia menjadi tokoh nyata yang ada di dalamnya.
Lalu, saat
mereka duduk-duduk menikmati pemandangan, Anne menagih sesuatu.
“Mana croissant enakmu, Musa?”
“Ini.”
Sekonyong-konyong, ada sebuah keranjang rotan cukup besar di sana dan berisi
penuh croissant hangat. “Bagaimana
bisa?” Anne bertanya-tanya.
“Apa pun yang
kamu mau, tinggal sebut saja, kak Anne. Semua yang kakak minta bisa langsung
tersedia dalam sekejap.”
Anne mulai
mencurigai sesuatu.
“Aku ingin
duduk di atas karpet Turki, teh chamomile
dalam cangkir Cina, biskuit dari Inggris, kue jahe paling enak, seekor
kucing kampung yang gendut, anak anjing dari Siberia yang tidak bertengkar dengan kucing, klepon,
dan kue putu.”
“Lihat di
belakangmu, kak Anne.”
Dan semua
nyata ada di belakangnya! Anne semakin curiga. Lalu, sembari duduk di atas
karpet Turki itu, Anne mengatakan sesuatu lagi. “Aku ingin cetakan asli dan
pertama dari karya-karya Shakespeare! Langsung dengan tinta yang ditulis
Shakespeare!”
ADA!
Kertas-kertas kuno itu langsung ada di pangkuan Anne.
“Jangan bilang
kalau tempat ini adalah taman kecil setelah kematian…”
“Tebakan yang
tepat!”
Anne
membulatkan matanya. Jelas terkejut.
“Ini bukan
mimpi?”
“Bukan.”
“Terus, kalian
apa? Kenapa kalian di sini.”
“Kami
teman-teman kak Anne. Wujud kebaikan-kebaikan yang dilakukan kak Anne selama
hidup.”
“Aku masih
tidak paham, Musa!”
Mereka
berdiri. Anak-anak kecil yang sebelumnya ikan mas koki itu tersenyum kepada
Anne. Mereka berjalan ke depan dan meminta Anne mengikuti mereka. Anak anjing
Siberia dan kucing kampung yang gendut ikut mengekor di belakang.
Ladang krisan
itu berganti menjadi tempat luas dengan pohon-pohon kamboja. Nisan-nisan. Ya,
banyak nisan di sana.
“Kenapa kita
di sini, Musa?”
“Untuk sebuah
penjelasan.”
Di ujung sana,
ada sebuah keramaian yang akan mereka hampiri. Mama! Ayah! Mereka semua
mengenakan pakaian hitam. Marius! Pak Raja! Mereka semua menangis! Dan
masing-masing dari mereka, membawa buket besar krisan berwarna ungu. Mama
membawa foto Anne yang tersenyum…
Anne berlari
menghampiri mereka, memeluk namun tak bisa. Sudah beda dunia, bukan? Anne ikut
menangis, dia masih tidak paham bagaimana dia bisa meninggal. Padahal dia belum
pulang dan membawa titipan buket mawar putih serta rempah-rempah mama. Dia juga
belum masuk SMA dan mencari pacar seperti yang dikatakannya kepada ayah saat
mereka membicarakan tentang buku Pride and Prejudice yang dibaca Anne.
“Anne, sayang,
nyanyian duka paling merdu untukmu akan selalu mama lantunkan dalam hati. Mama
mencintaimu, hingga mawar putih dan beragam bunga lain akan berhenti mama beli,
sayang. Hanya akan ada krisan kesukaanmu di rumah. Mama juga akan membangun
rumah kaca untuk menanam sendiri krisan kita. Bukankah itu yang kita rencanakan
tahun ini?”
“Croissant spesial buatan Marius untukmu,
ayah akan membagi-bagikannya setiap hari untuk anak-anak kecil jalanan. Ayah
meneladani kebaikanmu, sayang. Hatimu yang lembut itu…”
Salam-salam perpisahan
menggema di telinga Anne yang duduk di antara mereka. “Anne di sini, Mama,
Ayah, Anne di sini.” Tidak ada yang mendengar Anne.
Iringan dengan
pakaian serba hitam itu sedikit demi sedikit membubarkan diri. Ayah dan Mama
saling merangkul dan menguatkan, berjalan tertatih menjauhi nisan Anne. Anne
sendiri, berdiri di atas pusara itu. Memandang nisannya. Aneh.
“Aku tidak
mati konyol, kan?” tanyanya kepada Musa dan anak-anak kecil yang mengelilingi
pusaranya.
“Sedikit
konyol, kak Anne.”
“Apa?!” Anne kembali
melotot.
“Ingat betapa
ribetnya kamu membawa barang bawaan di sepeda? Tanganmu yang kiri memegang boks
croissant, tangan kananmu menyetir
sepeda. Kamu tidak bisa mengendalikannya dengan mudah. Kamu kehilangan
keseimbangan, kak Anne,” Musa menjelaskan, diiringi anggukan dari A, B, C, D,
E—nama-nama aneh lima anak kecil itu.
“Cuma jatuh
dari sepeda lalu meninggal dunia? Hah? Yang benar saja! Akhir yang cukup konyol
seperti drama sinetron.”
“Tidak, bukan
begitu. Tepatnya, ada bus yang menyalipmu dan dekat sekali denganmu. Seharusnya
kamu minggir, tapi karena kehilangan keseimbangan, kamu terjatuh.”
“Terlindar
bus? Hancur? Tubuhku berantakan?”
“Iya, kak
Anne.”
Anne terdiam.
Seperti dugaannya selama ini, kematian pasti tidak sejauh itu dari kehidupan
manusia. Bisa menghampiri kapan saja, termasuk ia.
“Bukan
kematian konyol. Ini sungguh tragis. Apakah krisanku hancur?” sempat-sempatnya
gadis Belanda-Prancis yang tinggal di Indonesia ini menanyakan bunga krisannya.
“Tidak terlalu
hancur. Tapi warna ungunya berubah menjadi merah.”
Darahnya! Ah,
bahkan krisan mengiringinya hingga sejauh itu. Sampai di taman kecil ini pun,
ladang krisan ada di mana-mana.
“Pantas saja
Mevrouw Asiyah tidak mendengarku! Kan aku sudah jadi ruh.”
“Kak Anne
jangan sedih lagi, ya?”
“Oh tidak.
Tadi aku hanya terkejut. Aku bahagia sekarang. Bersyukur sekali bisa
mendapatkan taman alih-alih api yang berkobar. Lagipula, sudah lama aku
mempersiapkan hal ini. Aku sudah banyak membaca tentang kematian dan krisan.
Jadi, keep calm and stay cute, okey?
Well, stop panggil aku kak. Anne saja.”
“Baik, Anne,”
mereka berenam serempak.
Kemudian, Anne
dan anak-anak itu berlarian menuju ladang krisan. Mereka bermain-main dengan
kucing kampung gendut dan anak anjing Siberia. Anne juga telah meminta untuk
dibuatkan rumah yang mirip dengan rumah Marie di film Ghibli. Ada danau dan
perahu di sana. Tinggal main-main saja. Kalau bosan, Anne membaca buku dan
melukis. Ia melakukan semua yang ia mau, ia suka. Hanya ada kegembiraan, kebahagiaan,
selamanya.
“Aku
merindukan orangtuaku,” ucap Anne pada suatu hari dengan raut wajah sedikit
sedih.
“Datang ke
mimpinya, Anne!” ucap salah satu dari A, B, C, D, E.
“Memang bisa?”
“Itu cara yang
selalu dilakukan orang meninggal saat mereka merindukan anggota keluarga yang
masih hidup. Datang ke mimpi mereka, Anne.”
“Baik, aku
akan berdandan sebentar sebelum bertemu dengan mereka. Kalian harus ikut juga supaya mereka tahu kalau di sini, aku bahagia dan tidak kesepian.”
TAMAT
Comments