A LETTER THAT WILL NEVER BE SENT #4 (THE LAST PART OF THE STORY)
A LETTER THAT WILL NEVER BE SENT #4
Saya selesai. Kematian hati yang
telah saya sebut-sebut sebelum ini seharusnya tidak akan bangkit lagi. Karena
itu, saya memutuskan untuk mengakhiri surat-surat saya. Surat yang sebenarnya
di dunia nyata lebih banyak dibanding yang saya tuliskan di sini. Dan saya
harap, Tuan membacanya—kalau memang Tuan adalah salah satu pembaca saya.
Tuan, di akhir
surat ketiga, saya menuliskan kalau saya akan menunggu Tuan selalu di rumah
yang ada di ujung jalan itu. Saya rasa rumahnya sudah roboh. Bunga-bunga di
halaman sudah merambat ke sana ke mari, tidak pernah disemai dan disiram atau
dipotong demi kata estetika. Pemiliknya sudah memilih untuk tidak tinggal di
sana lagi. Dia sudah tidak betah dengan kata indah yang dijanjikan. Dia sudah
memilih untuk pindah ke kota yang berisik. Tidak ada lagi suara biola Mozart dari
berbagai vinyl yang tertata rapi di
rak. Tidak ada lagi cerita-cerita dongeng yang hadir dan dibaca keras untuk
menghibur dirinya sendiri. Dia tidak lagi percaya akan keajaiban. Saya sudah
tidak percaya lagi, Tuan. Karena kata “ajaib” tidak lagi seperti cahaya
berkilau di kegelapan hidup saya. Cahaya itu sekarang menjauh hingga hanya
gelaplah yang tersisa.
Hening, Tuan.
Kalau saya sendirian tanpa kebisingan dari kota, saya hanya menemukan
keheningan. Saya mendengar Tuan berkata dalam kepala saya, berlarian seperti
anak kecil yang tak pernah berdosa, menggemaskan sehingga ingin saya peluk, dan
tersenyum. Tuan selalu tersenyum dalam benak saya. Dan semua
imajinasi-imajinasi tentang Tuan itu harus saya hapus dengan paksa. Saya harus
menganggap Tuan sebagai sosok yang benar-benar imajiner. Aih, bukannya Tuan
memang sosok yang lahir dari imajinasi saya?
Jangan bohong. Tuanmu nyata.
Tapi kapan
kau datang ke hadapan saya? Kapan kamu mau meraih hati yang sudah mati untuk
orang selain engkau? Tidak akan pernah, bukan? Maka dari itu, kata tanya kapan
akan saya hapus dari kamus memori tentang kamu.
Tuan, andaikan
engkau tahu bahwa setiap sebelum tidur, saya berkata kepada angin untuk
menyampaikan sebuah cerita pengantar tidur kepada engkau. Saya ingin jadi ibu
peri pendongengmu, karena kamu adalah bapak peri sang pendengar
dongeng-dongeng saya. Apakah kata-kata saya kepada angin itu tersampaikan kepadamu? Tidak,
bukan? Makanya saya benci rasa percaya saya akan keajaiban!
Untuk yang
terakhir kali saya akan mencoba pengecualian. Tuan, lewat angin saya akan
berkata sekarang juga. Saya ingin ia mengirimkan salam perpisahan. Saya ingin
ia mengirimkan kabar kalau beliungnya akan membawa saya jauh dari engkau. Saya
ingin ia bercerita tentang badai yang akan datang sebentar lagi; badai yang
akan menyapu habis segala kenangan, cinta, dan cita.
Laut itu,
Tuan, akan menenggelamkan saya. Langit itu, Tuan, akan melemparkan saya ke
dalam kegelapan luar angkasa. Hutan itu, Tuan, akan menyesatkan saya. Sungai
itu, Tuan, akan menghanyutkan saya. Kemarau akan membuat saya kering kerontang.
Hujan akan membuat saya kebanjiran air kesedihan. Panas akan membuat saya
hangus. Dingin akan membuat saya beku. Semi, akan hilang. Sepenuhnya,
selamanya.
Dunia saya
yang diliputi engkau akan mati. Setelah detik terakhir dari surat ini, saya
akan lahir ke dalam kisah lain yang entah akan seperti apa. Sedih tanpa engkau?
Bisa jadi. Lebih buruk. Kacau? Bisa jadi. Tapi saya yakin saya bisa. Saya yakin
saya akan menemukan cahaya. Saya juga yakin kalau cahaya paling terang tidak lain berasal dari hati saya sendiri. Saya sudah tidak percaya lagi akan keajaiban,
tapi saya masih bisa percaya pada saya sendiri.
Tidak engkau,
tidak pula saya. Tidak ada kata kita. Tidak ada kata awal karena semuanya telah
berakhir bahkan ketika pertama kali saya tahu namamu. Semuanya sudah berakhir
semenjak saya menatap punggung engkau di malam penuh lilin itu. Semuanya sudah
berakhir. Saya harus segera menyudahi.
Tuan, tidak
apa-apa, kan, saya pergi?
Comments