NONA ASTER BERSELIMUT MAWAR
Perempuan itu
duduk sendiri. Di bangku pojok dengan minuman matcha, laptop penuh stiker Ghibli, rambut sebahu, kacamata merah
muda, kaos oversize berwarna kuning
cerah dan sepatu putih. Nyentrik, norak. Beda jauh dengan trend warna earth-tone gaya
korea yang soft dipandang mata. Dia
juga memakai gelang, dua di kanan bermotif daisy
dan dua di kiri emas dan karet hitam biasa. Dua-duanya ada, dua-duanya
berisi dua. Jangan lupa cincin di jari manis, jari tengah, dan jari
telunjuknya. Dia juga memakai kalung mutiara. Ramai sekali, kalau dia bertamu
ke rumah orang, takutnya malah dikira ibu-ibu rentenir penagih utang yang
sekujur tubuh penuh perhiasan.
Dia fokus
menatap layarnya. Tangannya mengetik cepat. Ada satu yang kulupa saat
mendeskripsikan dia. Dia membawa buku, dari kejauhan kubaca judulnya Semua Ikan
di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Sulit sekali membaca nama kedua
penulis itu. Ada juga buku tipis di atasnya, judulnya Sajak Sikat Gigi. Di
sampingnya juga ada buku catatan dan pulpen berwarna pink. Sesekali dia membaca
buku catatan itu ataupun mencoret-coret sesuatu.
Aih, kenapa
aku sedetail itu mendeskripsikannya?
Aku, pria atau
laki-laki terserah kau menyebutnya, berumur 19 tahun. Duduk di kafe itu,
seorang diri juga. Aku ke sini hanya untuk mencari udara segar setelah
kerumitan tugas ini itu, proker begini begitu, pokoknya segala kesumpekan dari
dunia kuliah yang masih harus kujalani 3 tahun lagi. Maunya cuma main HP,
mendengarkan musik galau yang sedang berputar, atau cuma melamun. Tidak ingin
melakukan apa-apa, tapi keberadaan perempuan berkacamata pink itu sedikit
mengalihkan perhatianku.
Karena aku
adalah seorang pembaca juga, aku memberanikan diri untuk menghampirinya.
“Suka tidak
dengan Beliau?”
Dia menoleh
kepadaku yang sekonyong-konyong duduk di depannya. Melotot, mengerutkan dahi,
lalu berangsur tenang. “Seriously you ask
that question to me? OMG! Are you a reader?”
Aku tersenyum,
mengangguk. “Yes, I am. Cerita
tentang Beliau tidak pernah lepas dari ingatan saya,” ucapku. Dia
mengangguk-angguk dengan cepat. “Baca buku apa saja?”
“Pram, Eka, Ahmad
Tohari, Iksaka Banu… banyak,” jawabku. Dia merespon dengan membuka mulutnya,
terkejut, tidak bisa mengendalikan ekspresi. Aih, perempuan spesies apa dia
ini?
“Kalau luar
negeri?”
“Jostein
Gaarder, Dan Brown, J.K Rowling, Conan Doyle, Montgomery, Jane Austen, Haruki
Murakami, Keigo Higashino and many more.”
“HAAAAAA?!!! Are you kidding me? Seriously?”
“What happen?” tanyaku menanggapi
keekspresifannya.
“All your favorite authors are my favorite
too!”
“Wow, that surprised me,” ucapku,
tersenyum heran dan sedikit takjub.
“Geweldig!”
“Jerman apa
Belanda? Saya kadang agak sulit membedakannya.”
“Ya, ya. Memang
satu rumpun, bukan? Belanda.”
“Bisa bahasa
Belanda?”
“Ya. Kuliah
jurusan Sastra Belanda dan mau ambil S2 di Belanda dan akan tinggal di Belanda.”
Aku tersenyum.
Dia anak sastra, tentu saja dia pembaca. Belanda pula. Jurusan di UI yang cuma
ada satu di Indonesia dan pertama di Asia Tenggara.
“Ngerjakan tugas?”
“Menulis.”
“Kamu penulis?”
Aih, maaf nona, aku seperti sedang menginterogasimu saja.
“Bukan. Aku
hanya menulis.”
“Menulis apa?”
“Puisi.”
Ingin aku
membaca puisinya, mengintip apa yang terselip dalam diksi-diksi yang ia pilih.
Tapi, lancang sekali kalau orang asing sepertiku meminta untuk membaca
puisinya?
“Kamu?”
tanyanya, cuma berisi satu kata yang berupa subyek. Tidak lengkap struktur
kalimatnya, jadi aku tidak paham apa yang dia tanyakan.
“Kamu tidak
menulis? Biasanya pembaca akan menulis, bukan?”
“Saya cuma
menulis kisah-kisah ringan yang sekonyong-konyong muncul di kepala saya.
Biasanya tertulis di catatan HP, tapi sering pula hilang atau kehapus tanpa
sengaja.”
Dia mengangguk-angguk
paham. Sepertinya dia tahu betul bagaimana menanggapi orang, karena dia tidak
melanjutkan untuk menulis di laptopnya, melainkan dengan senang hati mengobrol
denganku. Kutebak, dia juga mempelajari psikologi.
“Sendirian di
sini?” dia bertanya sambil mengedarkan pandangan.
“Yup. Well, apakah kamu tidak takut?”
“Takut dengan
apa?”
“Saya orang
asing yang tiba-tiba datang di hadapanmu, menanyai tentang dunia bacaanmu, lalu
tahu kalau kamu suka menulis puisi. Kamu tidak takut saya orang asing yang bisa
saja menghipnosis atau pun merampok barang-barangmu?” tanyaku.
“Tidak, Tuan.
Aku bisa membaca ketulusan dan maksud orang lewat matanya. Selama berbicara
denganmu, aku menatapmu dan tidak mendapati maksud jahat apa pun. Tuan sendiri,
tidak takut tiba-tiba menghampiri seorang gadis dengan style buruk berbaju kuning ini?”
Aku tertawa. “Tidak,
Nona. Justru baju kuning itu yang membuatmu ‘terlihat’.”
Dia tertawa
juga. “Well, Tuan. Saya suka daisy. Tuan bisa lihat di gelang saya,
sepatu saya dan baju saya. Kuning dan putih, warna bunga aster.”
“Mau saya
belikan beberapa?”
“Maksud Tuan?”
“Tunggu
sebentar.”
Aku keluar
dari kafe itu. Di dekat kafe, ada sebuah toko bunga lumayan besar yang menjual
berbagai bunga termasuk aster. Akhirnya, aku membeli satu buket untuk dia. Aku
tahu kalau memberikan bunga budaya yang biasa untuk orang Belanda. Dia anak
Sastra Belanda, tentu dia tahu itu. Bunga adalah cara menghargai bagi bangsa
itu.
“Serius? Tuan, aku rencananya mau beli sendiri sepulang dari sini,” kata dia, dengan wajah
berbinar saat aku memberikan bunga-bunga aster itu.
“Uang untuk
beli bunganya bisa kamu simpan untuk beli buku.”
“Dank je wel.”
“Graag gedaan.”
“Tuan bisa
bahasa Belanda juga?”
“Tidak, nona. Selama
menunggu floris mengurus bungamu, saya mencari kalimat-kalimat sehari-hari
dalam bahasa Belanda.”
“That’s really cool, you know?”
Aku tersenyum,
lalu menyuruhnya melanjutkan menulis. Aku mau pindah ke tempat dudukku semula, tapi
dia menyuruhku duduk di situ saja menemaninya. Kata dia, tidak boleh bagiku
untuk tiba-tiba menghampiri lalu tiba-tiba juga pergi.
“Tuan mau baca
puisiku?” tawar dia belasan menit kemudian.
Aku terkejut
dengan tawaran itu.
“Tentu, apakah
boleh?”
“Tuan sudah
memberiku aster, maka bolehlah aku memberi tuan puisi.”
Tuan,
Tiba-tiba
datang. Membawa
Sepucuk
sapaan. Mencubit hati
nona
belanda di depan.
Membawa
bunga-bunga
aster
putih menggemaskan.
Putih
dan kuning, oh Tuan.
Seperti
baju saya, manik saya,
lucu
selucu tawa saya,
cantik
seperti wajah saya.
Iya,
kan, iya, kan?
Bukankah
engkau kemari karena tertarik dengan itu-itu?
Jangan
bohong, jangan bohong.
Kau
mencubit hati, saya bisa mengirisnya.
Aku tertawa
membaca puisi itu. Tentu ini bukan puisi yang dia buat sebelum aku datang. Dia
membuatnya barusan.
“Silakan kau iris, silakan kau hancurkan
berkeping-keping. Aih, semaumu, nona! Selagi itu engkau, selagi itu kau yang
melakukannya, kau bunuh diriku dengan racun tarantula pun aku mau.”
Kubalas
bait-bait puisinya. Dia tersenyum senang. Dia lalu terdiam, mengganjal dagunya
dengan tangan kiri, tangan yang berisi dua gelang motif daisy.Mungkin dia sedang memikirkan balasan lainnya?
“Tuan asing
yang namanya pun tidak kutahu, pada bait kata ini aku bukannya membalas lagi
balasanmu terhadap puisiku. Karena kau berkata rela aku iris hatinya, maka kan
kuberitahu bahwa kamu bukan puisiku.”
“Saya tahu,
saya tahu. Tapi puisimu yang satu itu untukku.”
“Itu cuma
hadiah. Puisi-puisiku yang lain, dunia kataku, itu bukan kamu. Tuan bukan
puisiku.”
“Lantas siapa?”
tanyaku.
“Ada seorang
Tuan yang selalu memberikanku bunga mawar merah walau sudah tahu kalau
kesukaanku hanyalah aster. Dia berkata, ‘aster kesukaanmu. Biarlah begitu.
Kesukaanku adalah kamu dan kamu adalah mawar merahku’.”
“Jadi, dia
seorang pangeran?”
“Tuan membaca
bukunya juga, bukan?”
“Le Petit
Prince.”
“Dia sudah
besar, Tuan. Dia sekarang bersamaku. Rela pindah planet karena mawarnya yang
mati menjelma menjadi manusia yang tinggal di bumi.”
Aku tersenyum.
Kisah cinta yang bagus sekali. Sayangnya, aku tidak berperan menjadi tokoh
utamanya. Kisahku, bahkan sudah berakhir pada sapaan halo pertama.
“Rose!”
Panggil seseorang. Nona Belanda itu menoleh.
“Prince? Saya
sudah menunggu kamu lama. Terimakasihlah dengan Tuan ini, dia menemani saya dan
memberikan saya bunga aster. Dia juga pembaca. Sepertiku, sepertimu.”
“Rose, boleh
saya cemburu?”
Perempuan
berbaju kuning yang dipanggil Rose itu tersenyum. Aku yakin nama mereka bukan
Rose maupun Prince. Itu hanya kisah yang mereka buat dengan tokoh mereka
sendiri.
“Maaf, saya
bukan bermaksud apa. Saya hanya tertarik dengan Rose yang membawa buku Ziggy
dan Yudhistira. Karena saya pembaca, saya pun tertarik untuk menyapa pembaca
yang lainnya,” kataku kemudian.
“Het spijt me, jangan panggil dia Rose. Itu
panggilan saya kepada dia. Nama saya juga bukan Prince. Baik, terimakasih
banyak.”
Aku pun pergi.
Karena minumanku juga sudah habis, aku memilih untuk pergi dari kafe itu.
Meninggalkan Rose dan Prince melanjutkan ceritanya tanpa keberadaan tokoh
figuran yang cuma lewat di bab dialog tak penting. Sayup-sayup, saat aku membayar
tagihan di kasir, aku mendengar mereka bercakap-cakap, “Rose, kalau kamu ingin saya belikan aster sesekali, bilang saja. Akan saya belikan dua buket, aster dan
mawar.”
“Prince, saya
suka membuatmu cemburu. Saya melihat cinta yang berlipat ganda saat kamu sedang
cemburu.”
“Kamu selalu
begitu, Rose. Coba saja saya yang membuatmu cemburu.”
“Saya akan
terbatuk-batuk dengan keras dan sengaja, lalu cerewet.”
“Begitulah
Rose-ku.”
Aku tidak tahu
kenapa. Kukira akan biasa saja. Hatiku berkecamuk. Aku meninggalkan tempat itu
dengan rasa sesak—padahal saat itu udara sedang segar-segarnya.
TAMAT
Comments
Sek nyari tp gpp kl y halu duls😭✋🏻