ALKISAH

Hari Kamis sore, Ayah mengajak saya ke Banyuwangi Kota. Beliau akan jogging di GOR Tawang Alun, tapi saya tidak ikut ke sana. Saya lebih suka jalan-jalan dibanding lari. Oleh karena itu, Ayah menurunkan saya di Togamas. Biar saya bisa menghabiskan waktu untuk mencari alat-alat lukis atau membeli buku-buku baru. Kalau lapar bisa ke foodcourt Roxy atau kalau bosan bisa panggil Gojek untuk antarkan ke Pantai Boom dan ke manapun saya mau. Pokoknya, nanti Ayah akan jemput saya.

Sesampainya di Togamas, saya langsung menuju pojok alat-alat menggambar. Saya mau beli kuas, seperangkat pisau palet, dua kanvas ukuran 20x20, minyak untuk cat minyak, palet, dan perintilan lainnya. Beberapa barang tidak ada, mungkin saya bisa belanja lewat toko online saja nanti.

Togamas itu tidak terlalu sepi. Ada empat orang selain saya dan dua karyawan. Setelah membeli peralatan menggambar, saya menuju kasir.

“Kak, titip di sini dulu. Aku mau nyari buku sebentar,” ucap saya kepada seorang kasir. Setelah itu, saya menuju rak-rak buku. Saya tertarik dengan buku yang berjudul The Perfect World of Miwako Sumida karya Clarissa Goenawan. Tetapi, buku itu agaknya tidak bisa saya gapai dengan mudah. Terlalu tinggi untuk dijangkau tubuh saya yang kecil. Maka dari itu, saya meminta tolong kepada laki-laki yang tidak jauh dari saya dan juga sedang membaca sinopsis-sinopsis buku.

“Maaf, bisa saya minta tolong?”

Dia menoleh. Matanya sipit, kulitnya putih, dan berkacamata.

“Ya?”

“Boleh tolong ambilkan buku itu? The Perfect World of Miwako Sumida. Saya tidak sampai.”

Dia mengambilkannya untuk saya. Tapi, ketika dia memberikan buku itu, dia menatap saya agak lama. Lima detik sepertinya.

“Maaf?” ucap saya.

“Sepertinya aku pernah melihatmu di suatu tempat.”

“Itu mungkin saja terjadi. Ada Instagram, Twitter, dan media sosial lainnya.”

“Bukan. Di dunia nyata.”

“Mungkin cuma mirip,” ujar saya. Lalu, saya menuju ke kasir lagi. Laki-laki itu mengikuti dan saya agak risih.

“Boleh aku traktir?”

“Maksudnya? Kita baru bertemu, saya juga sudah bawa uang sendiri.”

“Kamu suka Jostein Gaarder, kan?”

“Kenapa mengarah ke situ? Iya, tapi kenapa kamu tahu?”

“Mari kita bicarakan nanti.”

“Ya, tapi jangan memaksa nraktirku.”

Setelah itu, kami keluar dari Togamas dan membawa barang masing-masing. Saya mencoba berpikir positif tentang laki-laki ini. Mungkin kami pernah bertemu, entah saat saya olimpiade di luar kota, bertamasya dengan keluarga saya, atau lainnya.

“Sebenarnya saya ingin menraktirmu seperti yang dilakukan Bibbi Bokken terhadap Nils.”

“Perpustakaan Ajaib?”

Ya, kami membicarakan tentang buku Jostein Gaarder yang berjudul Perpustakaan Ajaib.

“Ke foodcourt Roxy saja, yuk. Jangan melarangku untuk menraktirmu.”

“Ada jaminan kamu bukan orang jahat?” saya bertanya was-was.

“Pegang HP dan kunci mobilku,” saya menerima keduanya untuk jaminan. Lalu, kami menyebrang. Sesampainya, kami memilih tempat duduk lalu saya memesan kopi.

 “Aku melihatmu dulu di olimpiade bahasa Inggris.”

“Aku tidak pernah ikut olimpiade bahasa Inggris kecuali itu terjadi sekitar lima tahun lalu. Saat aku masih duduk di kelas dua MTs.”

“Tepat. Di SMK Banyuwangi, di kantinnya. Kamu pakai baju biru-putih, tas abu-abu dengan gantungan kunci yang banyak sekali, serta kerudung rabbani. Kamu belum pakai kacamata waktu itu. Kamu memesan es taro dan sembari meminumnya, kamu baca buku. Kalau tidak salah, bukunya Ilana Tan yang berjudul The Star and I.”

Detail sekali? Apakah dia penguntit ataukah jenius yang memiliki ingatan setajam itu?

“Mungkin salah orang. Sebentar, aku buka masker,” ucap saya mengelak.

“Tidak salah lagi. Aufi?”

“Coba buka masker?” pinta saya.

Astaga.

“Andre?” ucap saya mengenalinya. Seorang laki-laki dengan campuran darah Tiongkok—yang mungkin diistilahkan Cindo?

Saya bertemu dengannya. Betul, lima tahun lalu. Perkenalan yang singkat, tapi kami sudah pernah bertukar BBM dan Whatsapp. Namun, kami lost-contact karena ganti device.

“Kuliah di mana, Fi?”

“UI, Sasbel. Kamu?”

“Ilmu Komputer, di NTU.”

“Wow! NTU Singapura?”

“Iya, well, kamu juga wow!”

Kami tertawa.

“Besok aku berangkat lagi. Kemarin pulang cuma karena Mama sakit. Kamu kapan ke UI?”

“Masih tahun depan.”

“Ah, ayo kapan-kapan main ke Singapura!”

“Belum ada cuannya, Bapakkk..” ucap saya gemas. Dia ajak ‘ayo ke Singapura’ seperti mengajak ngopi saja.

“Kalau begitu, kapan kamu libur semester? Bareng aku saja nanti.”

“Yaaaa,” ucap saya ngasal karena biasanya rencana jauh-jauh hari tidak akan pernah terlaksana alias cuma basa-basi.

Lalu, kami bercerita banyak. Tentang kuliahnya juga kuliah saya.

Meski telat, dia juga mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya. Dia akan ulang tahun November ini, jadi saya balas selamat ulang tahun juga. Setelah itu, kami ke toko bunga.

“Jangan mawar,” ucap saya. Dia hanya tersenyum, lalu memberi saya krisan. Warna ungu.

Comments

Anonymous said…
wait, is this real?
Anonymous said…
Gua keinget au baca beginian omg so excited to read this
Hilma Aufiana said…
Silakan berspekulasi.
Hilma Aufiana said…
Suedih lak dibayangno.

Popular Posts