SAYA MENYERAH UNTUK TERUS MENYERAH

Udaranya sedang enak. Langit cerah tapi tidak terik. Pepohonan berdesir akibat daun-daunnya yang saling menyapa dan bersalaman. Suara tenang air yang mengalir di kanal samping jalan setapak berbatu membuat hati senang. Bunga-bunga pun tumbuh di situ. Ada yang sengaja ditanam atau yang liar tak bertuan. Satu dua pejalan kaki lewat tanpa berbicara seperti mendukung lingkungan yang sedang tenang.

Saya ada di situ, duduk di pinggir kanal dengan kaki yang menyentuh air. Segar rasanya. Lalu saya berdiri dan berjalan-jalan di tepian. Ada mawar merah, jingga, dan putih. Saya ingin sekali menghindari mawar dan ingin menghampiri bunga bagaskara saja. Tapi tidak kali ini. Saya tidak bisa mengendalikan apa yang saya lakukan karena ‘saya yang ini’ berada di luar kendali.

Saya menghampiri satu batang mawar putih dan mencabutnya hingga akar. Mudah sekali tercabut. Saya pun tidak terluka karena durinya. Setelah itu, ketika saya ingin menelisik tentang apa yang telah saya lakukan, saya terbangun dari mimpi.

Sudah pagi.

Saya termenung tidak tahu mengapa mimpi buruk ini datang. Saya benci bunga mawar. Saya benci bunga yang menunggu pangeran sampai ia meninggal. Apakah kebencian itu melahirkan alam bawah sadar yang membuat saya bermimpi mencabut mawar? Meski bukan mawar merah melainkan mawar putih, tetap rasanya pedih.

Mawar putih memiliki makna cinta yang murni dan kesetiaan abadi. Apakah berarti ini arti yang baik? Bahwa saya akan segera berpindah hati, dengan sepenuhnya benar, entah kepada siapa dan di mana berlabuhnya. Di sisi lain, mimpi memotong atau mencabut bunga berarti keberadaan seseorang yang akan menantang kebahagiaan saya. Siapakah?

Saya tidak ingin percaya, sungguh. Namun, mimpi ini membuat saya sedih lagi. Saya sudah bilang akan berhenti menjadi Rose yang setia dan tidak akan membahasnya lagi. Hasilnya? Bahkan tulisan ini masih sanggup saya tulis. Bahkan perkataan pangeran tempo hari yang menusuk hati masih bisa saya tangani dengan baik. Jadi, bagaimana, Pangeran?

Saya akan melanjutkan cerita apabila dikau bersedia.

Karena melelahkan menjadi sedih akan praduga masa depan di mana kita takkan bersama.

Saya tidak akan menunggumu karena kau lah yang harus menjemput saya.

Saya sudah mencoba menyerah tapi otak dan hati saya saling mendukung untuk terus bertahan. Kata mereka berdua—otak dan hati—kalau misal kita tidak saling beriringan di ujung jalan, setidaknya kita mendapat banyak pelajaran dari cerita yang penuh ketidakpastian. Bukannya semua cerita tidak pasti? Bukannya kau—pembaca tulisan ini—juga tidak tahu bagaimana dirimu esok hari?

Saya memilih memulai lagi cerita yang belum usai. Saya tidak ingin Alkisah lain mengganggu keberlanjutannya. Meski sering sedih dengan cerita ini, saya tahu tidak cuma saya yang sedih. Dikau pun pula, bukan begitu, Tuanku, Sayangku?

Tulisan-tulisan di tempat ini yang berisi tentangmu, meski nantinya takkan berakhir bersamamu, akan menjadi cerita yang indah untuk dikenang. Anak-anak saya akan membacanya. Cucu-cucu saya akan mengenangnya. Cicit-cicit saya akan membuatnya melegenda. Tentang kisah abadi yang berakhir tidak sampai mati. Sebuah paradoks indah tentang antonim abadi dan mati, tapi kita menggabungkannya menjadi mati abadi.

Tuan, bagaimana kalau esok anak-anak kita bertemu? Bagaimana kalau misal anak-anak saya tahu kalau ‘Om Itu’ adalah tokoh utama dari cerita masalalu ibu mereka? Akan saya ajari mereka sebelumnya untuk tersenyum kepadamu. Akan saya ajari mereka untuk berterima kasih karena kau telah menemani saya dengan kesedihan yang akhirnya menguatkan.

Permasalahan kita bukan tentang ketidakpedulian. Permasalahan kita bukan tentang saya yang menunggu dan kau yang menghilang. Permasalahannya, kita tetap melanjutkan cerita meski tahu keadaan akhir yang tak bersama.

Pembaca mungkin bertanya, kenapa tidak mungkin duhai Tuan dan Nyonya?

Bukannya Tuhanlah yang Mahapandai membolak-balikkan suasana? Bisa, kan, nanti kalian sepasang berdua? Bisa, tentu bisa.

Saya harap juga begitu. Tetapi mari, mari kita lihat bersama bagaimana masa depan membentuk kami.

Saya akan ke Belanda empat tahun lagi. Menetap.

Comments

Anonymous said…
gue gak yakin ini cerita sesuai sama label fiksi. lu ceritanya sedih banget sih anjir. kek bisa gak si fiiii lu pindah ke yang lebih pasti spt pelaut yang lu ceritain kemarin. lu udah nolak berapa cowok baik demi yang ini????
Hilma Aufiana said…
Gak ada yang lebih pasti, sahabat. Hidup penuh ketidakpastian. <3 Literally in real life gue ga sesedih itu kan... cuma kek nikmatin aja ceritanya. Walaupun sedih menurut gue ini menarik sih. Gue sendiri gasabar pen nunggu kelanjutannya. Dah siap kantong tertawa sekaligus kantong air mata nich
Anonymous said…
Fi... :)

Popular Posts