SAYA MENYERAH UNTUK TERUS MENYERAH
Saya ada di
situ, duduk di pinggir kanal dengan kaki yang menyentuh air. Segar rasanya. Lalu
saya berdiri dan berjalan-jalan di tepian. Ada mawar merah, jingga, dan putih.
Saya ingin sekali menghindari mawar dan ingin menghampiri bunga bagaskara saja.
Tapi tidak kali ini. Saya tidak bisa mengendalikan apa yang saya lakukan karena
‘saya yang ini’ berada di luar kendali.
Saya
menghampiri satu batang mawar putih dan mencabutnya hingga akar. Mudah sekali
tercabut. Saya pun tidak terluka karena durinya. Setelah itu, ketika saya ingin
menelisik tentang apa yang telah saya lakukan, saya terbangun dari mimpi.
Sudah pagi.
Saya termenung
tidak tahu mengapa mimpi buruk ini datang. Saya benci bunga mawar. Saya benci
bunga yang menunggu pangeran sampai ia meninggal. Apakah kebencian itu
melahirkan alam bawah sadar yang membuat saya bermimpi mencabut mawar? Meski bukan
mawar merah melainkan mawar putih, tetap rasanya pedih.
Mawar putih
memiliki makna cinta yang murni dan kesetiaan abadi. Apakah berarti ini arti
yang baik? Bahwa saya akan segera berpindah hati, dengan sepenuhnya benar,
entah kepada siapa dan di mana berlabuhnya. Di sisi lain, mimpi memotong atau
mencabut bunga berarti keberadaan seseorang yang akan menantang kebahagiaan
saya. Siapakah?
Saya tidak
ingin percaya, sungguh. Namun, mimpi ini membuat saya sedih lagi. Saya sudah
bilang akan berhenti menjadi Rose yang setia dan tidak akan membahasnya lagi. Hasilnya?
Bahkan tulisan ini masih sanggup saya tulis. Bahkan perkataan pangeran tempo
hari yang menusuk hati masih bisa saya tangani dengan baik. Jadi, bagaimana,
Pangeran?
Saya akan
melanjutkan cerita apabila dikau bersedia.
Karena
melelahkan menjadi sedih akan praduga masa depan di mana kita takkan bersama.
Saya tidak
akan menunggumu karena kau lah yang harus menjemput saya.
Saya sudah
mencoba menyerah tapi otak dan hati saya saling mendukung untuk terus bertahan.
Kata mereka berdua—otak dan hati—kalau misal kita tidak saling beriringan di
ujung jalan, setidaknya kita mendapat banyak pelajaran dari cerita yang penuh
ketidakpastian. Bukannya semua cerita tidak pasti? Bukannya kau—pembaca tulisan
ini—juga tidak tahu bagaimana dirimu esok hari?
Saya memilih
memulai lagi cerita yang belum usai. Saya tidak ingin Alkisah lain mengganggu
keberlanjutannya. Meski sering sedih dengan cerita ini, saya tahu tidak cuma
saya yang sedih. Dikau pun pula, bukan begitu, Tuanku, Sayangku?
Tulisan-tulisan
di tempat ini yang berisi tentangmu, meski nantinya takkan berakhir bersamamu,
akan menjadi cerita yang indah untuk dikenang. Anak-anak saya akan membacanya.
Cucu-cucu saya akan mengenangnya. Cicit-cicit saya akan membuatnya melegenda. Tentang kisah abadi yang berakhir tidak sampai mati. Sebuah paradoks indah tentang antonim
abadi dan mati, tapi kita menggabungkannya menjadi mati abadi.
Tuan,
bagaimana kalau esok anak-anak kita bertemu? Bagaimana kalau misal anak-anak saya tahu kalau ‘Om Itu’ adalah tokoh utama dari cerita masalalu ibu mereka? Akan saya ajari
mereka sebelumnya untuk tersenyum kepadamu. Akan saya ajari mereka untuk berterima kasih
karena kau telah menemani saya dengan kesedihan yang akhirnya menguatkan.
Permasalahan
kita bukan tentang ketidakpedulian. Permasalahan kita bukan tentang saya yang
menunggu dan kau yang menghilang. Permasalahannya, kita tetap melanjutkan
cerita meski tahu keadaan akhir yang tak bersama.
Pembaca mungkin
bertanya, kenapa tidak mungkin duhai Tuan dan Nyonya?
Bukannya
Tuhanlah yang Mahapandai membolak-balikkan suasana? Bisa, kan, nanti kalian
sepasang berdua? Bisa, tentu bisa.
Saya harap
juga begitu. Tetapi mari, mari kita lihat bersama bagaimana masa depan
membentuk kami.
Saya akan ke
Belanda empat tahun lagi. Menetap.
Comments