A VERY SHORT STORY: BUT THIS IS ABOUT THE WORD "DIE"


Aku kalah. Aku mengaku kalah setelah lama berkata cuma mengalah. Lorong-lorong gelap yang menarikku ke dalamnya dan terus saja kulawan, sekarang kuikuti saja apa yang dikata. Seka-menyeka pipi karena terus terbasahi oleh air asin mata, sekarang sudah menjadi kebiasaan yang tak lekang waktu. Bagaimana? Bagaimana nantinya, aku sudah tidak peduli apalagi tahu-menahu.

Helaas. Kita hanya sebatang tubuh bertulang dan tak bermakna. Dunia tak bermakna. Tak ada yang bermakna. Ucapku putus asa, seperti penganut nihilisme—iya kalau hal tersebut benar disebut nihilisme.

Apa boleh dikata, semua dimulai pada suatu waktu ketika senja hinggap di atas pohon mangga di depan rumahku, kau datang dengan berwajah abu-abu. Pakaianmu hitam kelam seperti masa lalu. Dengan berwajah itu, kau mendatangiku yang menyambutmu berjingkrak karena rindu. Hai, kataku.

Kau memelukku dengan syahdu. Tetapi apa boleh diperbuat lagi, duhai Misteri? Sambil menarikku menuju pusat terdalam ciumanmu, kau mengirimku ke dalam sendu. Air matamu yang tertahan oleh rasa malu akan tumpah meruah, sekarang menyatu dengan setiap tarikan nafasmu. Ada apa, tanyaku.

Kamu menarikku ke dalam samudera kebingungan. Begini biar lebih bisa dipahami. Kamu menarikku lebih mendekat. Sambil berbisik dengan suara parau, bahwa… bahwa kamu sudah tiada.

Maksudnya bagaimana? Sebenarnya aku juga bingung. Bahkan deru angin yang tak ingin menghentikan gerakannya menorehkan tanda tanya dalam setiap desirannya. Kamu berkata bahwa kamu sudah tiada, sedangkan yang berdiri di depanku nyata adanya. Kamu mengelak. Katamu kamu sudah tiada. Ada. Tiada. Ada. Tiada.

Ada.

Tiada.

Ada.

Tiada.

Kita seperti anak kecil yang sedang berebut gulali, sedang ini tentang kata mati. Ada dan tiada, seperti keributan para filsuf tentang eksistensialisme. Katamu kamu pamit, sedang kata pamit hanya untuk orang yang hendak pergi. Aku tidak percaya itu, sebab katamu kita akan selalu bersatu. Dalam diammu, kau peluk aku. Semakin erat dan dalam, semakin aku merasa kamu menjadi ringan. Dalam dekapan detik kesekian, ketika aku membuka mata, aku melihat kekosongan.

 

Comments

Popular Posts