MEMBANDING-BANDINGKAN DIRI

Aku baru saja membaca bacaan tentang filsafat stoisisme dan topik yang sedang diulas adalah perihal membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Ini mungkin akan relate karena di era gempuran media sosial yang penuh dengan pamer ini pamer itu, terkadang kita merasa insecure dengan pencapaian orang lain. Walaupun kita tahu kalau insecure itu tidak baik, tapi langsung saja ketika ada postingan orang lain muncul kita akan membanding-bandingkan diri kita yang kentang ini dengan orang tersebut. Ujung-ujungnya kita jadi sedih.

Berbagai macam jenis postingan bisa berpengaruh, entah itu pamer harta, wajah mulus dan goodlooking, sedang nongkrong di kafe yang lagi hits, lagi travelling, atau tambahan untuk aku dan mungkin booklovers lainnya adalah melihat postingan orang yang memiliki buku lebih banyak dari kita dan membaca banyak buku yang belum kita baca. Sebenarnya kalau terus dibanding-bandingkan gak bakalan ada ujungnya, sih. Karena balik lagi, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri dan yang diposting ke media sosial juga hanya kebahagiaan kan. Ya iyalah gak mungkin juga kita posting kesedihan kita di media sosial (kecuali dalam bentuk close friends), sambatan ringan, atau untuk caper.

Pengendalian dari membandingkan diri dengan orang lain ini masih belum bisa aku pecahkan. Karena sebagai manusia yang sangat kentang, aku masih sering sekali insecure melihat kelebihan-kelebihan orang lain. Tetapi jenis insecure yang aku miliki tidak terlalu ‘waw’ gitu. Contohnya gini: Tasya Farasya sedang posting foto selfienya. Setelah itu, aku merasa “Masyaallah nih orang cantik banget. Aku jelek banget sih.”. Dan setelah bilang begitu ya udah. Aku tidak akan overthingking dan merenungi kejelekan wajahku, melainkan lanjut scroll hal lain seperti yang lagi ramai hari ini (video marah-marahnya UYM. Maaf tapi seru banget ditonton).

Kalau dari stoisisme yang aku baca, kita punya dikotomi kendali atau penjelasannya tuh gini: ada hal-hal internal yang bisa kita kendalikan seperti pikiran dan emosi serta ada juga hal-hal eksternal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti tindakan dan emosi orang lain, dsb. Nah, karena masalah membandingkan diri ini terkait dengan orang lain, ya kita bisa apa? Kalau orang lain lebih kaya, lebih waw cantik molek bagaikan bidadari, atau ganteng bagai orang Korea ya terus kenapa? Kalau kita masih seperti kentang ya terus kenapa? Tentu dengan perbandingan ini kita mungkin bisa termotivasi untuk mempercantik, memperganteng, atau memperkaya diri. HOWEVER, kita perlu juga rem pengendali yang mungkin kalau bisa disebut tuh ‘merasa bodo amat’.

Lalu, bagaimana cara agar kita bisa merasa bodo amat?

Baca bukunya Mark Manson yang berjudul Seni Untuk Bersikap Bodo Amat atau untuk pengantar stoisisme kamu bisa baca Filosofi Teras-nya Henry Manampiring.

Lah malah iklan? Tidak bestie, aku hanya sedikit menyantumkan referensi.

Next.

Kalau untuk aku sendiri, aku sudah berada dalam fase sedikit bodo amat sejak dulu. Sepertinya sejak kecil bahkan sebelum aku membaca bukunya Mark Manson, deh. Gak terlalu bodo amat, sih, kadang ada hal kecil yang aku masalahin sampai menimbulkan perdebatan (but jujurly to be honest ini hanya muncul pas aku lagi gabut dan pms doang). Aku agak bodo amat dengan pencapaian teman-teman sekitarku, gosip tentang mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, dsb. Kalau membanding-bandingkan diri sendiri aku banyak insecure dengan selebgram dan katingku yang mapres. Namun selesai membandingkan ya kembali lagi: gak pusing overthingking dan bersiap dengan quotes andalan: YAUDALAH YAAA…

By the way kalian paham gak sih apa yang aku ocehin dari tadi? Takutnya tuh teks blog yang kutulis secara sadar ini tidak runtut dan berbelit-belit. Sebagai orang yang punya tugas content writing di beberapa organisasi aku merasa gagal deh menulis blog yang alakadarnya seperti ini. Tapi bodo amat, ini blogku, jadi suka-suka aku. (Well, kalau misal ada kritik dan saran terhadap blogku yang jelek ini langsung aja dm, ya! Terima kasiii)

Lanjut.

Aku sering banget dapat curhatan temenku yang sedang insecure. Walaupun aku sendiri sering mengalaminya, tapi sebagai murid dari Dale Carnegie, kita harus menjadi pendengar yang baik untuk membuat nyaman teman-teman atau orang di sekitar kita. So, dia itu curhat kalau misalkan dia insecure sebab cewek yang disuka crush-nya cantik mulus putih tinggi sedangkan dia kentang. Dia juga cerita kalau dia mau memperjuangkan perasaannya terhadap nih cowok tapi dia juga insecure. Dia bilang kalau cowok  ini terlalu ketinggian buat dia. Dia biasa aja meanwhile cowoknya tajir melintir dan wajahnya mirip oppa Korea. Karena dia tahu diri, akhirnya dia bilang kalau dia mau mundur aja.

Sebenarnya aku bingung harus merespon seperti apa. Seingatku aku jawabnya gini:

We don’t know how the future will be. God has His strength about everything in this world. You can read all the text in the world but you cannot read your own destiny. Bisa aja kan tuh cowok ujungnya jadi jodoh lu meski dia demennya sama cewek lain. Ya sekarang gini. Lu demen-demen aja ege. Kagak usah effort banyak. Ntar juga bakal ada titik terangnya. Kalau dia nanti buat lu, ya nanti juga bakal ke elu. Untuk masalah cowok ini tajir dan lu biasa aja, ya create your own future lah biar bisa tajir juga. Jadi gak ada tuh alasan insecure-insecure-an lagi.”

Apakah kata-kataku mempan? Oh tentu saja tidak bestie. Sebab apaa? Sebab dia yang berhak menentukan pikirannya mau diapakan: terus membandingkan diri sendiri dengan keadaan atau mulai beraksi mengubah sesuatu.  

So, gimana dengan kalian? Lagi membanding-bandingkan diri dengan orang lain gak? Atau dengan sesuatu? Apa itu? Jawab dalam pikiran masing-masing aja ya! Lewat komentar di bawah ini juga bisa tapi kayaknya agak mager gitu ngetik.

 

Comments

Popular Posts