LAKI-LAKI BERNAMA HAZE

 

Seorang wanita tua merajut dalam penerangan lilin putih dan iringan musik instrumental dari gramofon yang berada di atas nakas. Di matanya tergantung kacamata kecil dengan gantungan berwarna keemasan. Dia duduk di kursi malas dengan tangannya yang terus bergerak lihai. Tak jarang, dia menyenandungkan lagu-lagu tak berlirik dengan gumamannya.

“Kita akan bertemu di surga, bukan?”

Kalimat itu sekonyong-konyong terlintas di kepalanya dalam keheningan malam. Pertanyaan itu diucapkan oleh seseorang dari masalalu yang telah meninggalkan masa. Yang telah pergi, takkan kembali, tapi mengucapkan janji tentang di surga nanti.

Detik jam tak pernah berhenti, begitu pula gerakan tangannya dalam merajut. Karena ingatannya akan kalimat masalalu itu, sekarang dia tidak hanya merajut sepotong kardigan, tetapi juga untaian benang kenangan.

***

“Aku suka domba,” kata gadis itu.

“Hah? Kenapa tiba-tiba tentang domba?” tanya laki-laki yang di sampingnya.

“Lucu.”

“Tapi bau, Ra.”

“Kalau dirawat dengan baik, dimandikan dengan rutin, terus dikasih parfum, gak mungkin bau,” katanya kemudian.

“Ara mau domba? Mau rawat domba?”

“Nggak, bukan begitu.”

“Terus?”

Gadis itu menunduk menatap kakinya yang bergerak-gerak.

“Ara ada mau, ya?”

“Bukan begitu.”

Laki-laki yang bernama Haze itu semakin bingung dengan kelakukan gadis kecilnya. Mau domba? Kulit domba? Atau apa kenapa tiba-tiba membicarakan tentang domba?

“Mau awan yang berbentuk domba.”

“Tapi bukannya awan yang berbentuk domba lucu itu melahirkan hujan, Ra? Hujan kan identik dengan kesedihan.”

“Nggak selalu juga sih awan yang kayak gitu melahirkan hujan.”

“Lantas? Ara mau punya awan?”

Gadis itu menatapnya dengan wajah memohon dan menggemaskan. Dia mengangguk, mengiyakan. Dia pengin awan.

“Haze, Ara mau awan,” katanya kemudian.

“Kalau kamu mau domba, aku bisa belikan, Ra. Tapi untuk awan.. hmmmm.”

“Kenapa, Ze?”

See? Berjalan saja aku tidak bisa. Apalagi terbang meraih awan yang kamu inginkan.”

Lalu, keduanya terdiam. Hanya deburan ombak yang mengisi keheningan. Ara terdiam karena merasa bersalah atas keinginan imajinernya, sedangkan Haze terdiam karena merutuki kelemahannya dalam kepala.

“Ra, ayo pulang,” kata Haze kemudian sambil membalikkan kursi roda dengan tangannya.

***

Haze bertemu Ara di ulang tahun ke-17 sepupunya, Stephanie. Waktu itu, semua teman dan keluarga besar Stephanie diundang di ulang tahunnya. Ara mengisi salah satu rangkaian acaranya dengan membacakan puisi untuk Stephanie.

Melati, kata putih dan harum mengiringi

Berwujud paripurna seperti kata penyair ini

Kata mereka, harumnya menusuk seperti kuntilanak

Tapi kataku, harumnya adalah kecantikan yang semerbak.

 

Ibu bilang, aku tidak boleh menanam melati-melati

Takut kecantikanku tersaingi

Takut lirikan orang-orang berganti

 

Tapi jelasku, melati tak bisa kutanam seorang diri

Kutanam bersama orang-orang banyak dalam pesta ini

Ditanam hingga hati, berakar menusuk ke dalam sanubari

Karena bunga melati, menjelma menjadi sosok Stephanie.

Semua orang bersiul mendengar kalimat terakhir dari puisi Ara. Gombalan dalam puisi yang diucapkan oleh sahabatnya juga membuat Stephanie tertawa bahagia. Dia memeluk sahabatnya dengan erat dan setelah ia turun dari panggung kecil tempatnya berpuisi, semua orang mengerubunginya. Ara yang bertubuh kecil itu kemudian bergabung dengan teman-teman dekatnya. Ada Stephanie juga di sana, bergerombol menikmati penyanyi pop yang sedang melantunkan lagu-lagu untuk mengisi acara.

Ara seperti sosok tokoh utama dari sekian kisah. Bersama teman-temannya, dia menjadi tokoh pencerita di mana semua temannya mendengarkan. Haze tidak tahu dia bercerita tentang apa, tapi sepertinya sangat seru hingga semua temannya menyaksikan sambil tertawa. Dalam mata Haze pada malam itu, Ara adalah gadis paling ceria sebumi. Pandangannya terpaku, tak bisa lagi berkutik sejak perempuan bergaun putih dengan pola bunga biru itu membacakan puisi untuk sepupunya.

Tak lama setelah itu, Stephanie mendatanginya.

“Ze, titip hp, ya. Aku mau ke toilet dulu. Nanti kalau Mama Papa nyari, bilangin ya,” ucap Stephanie.

“Nie, sebentar.”

“Ya?”

“Ara, teman SMA-mu, ya?”

 “Hmm, pertanyaan yang basa-basi. Kenapa? Mau kenalan?” Haze membalasnya dengan tersenyum.

 “Samperin lah, Ze. Jangan cemen,” kata Stephanie yang kemudian menghilang menuju toilet.

Haze mencari berbagai kesempatan untuk menyapa peri kecil yang telah memikatnya itu. Cukup sulit karena Ara selalu menjadi tokoh yang dikelilingi banyak orang. Sampai acara selesai, Ara masih bercengkrama dengan teman-temannya. Ketika semua bubar, Haze mengikuti Ara yang keluar dari rumah Stephanie. Ia menunggu jemputan.

 “Ara, ya?”

 “Hai,” sapanya ramah.

“Aku Haze, sepupunya Stephanie.”

“Hai,” ucapnya lagi.

“Nunggu jemputan?”

“Heem.”

“Masih lama atau sudah dekat?”

“Belum. Mama bilang dia masih nongkrong sama teman-teman arisan. Bilang baru bisa jemput 15 menit lagi. Ini aku mau balik ke dalam, nungguin Mama sambil bantuin Stephanie bukain kado.”

“Aku anterin gimana?”

“Sebentar. Kamu bukan penculik?”

“Bukan lah!”

“Buktinya?”

Setelah itu, Haze menunjukkan foto keluarga besar di mana ada Stephanie di sana.

“Aku benar-benar sepupu Stephanie.”

Setelah berpikir lama, Ara mengiyakan tawaran Haze. Haze langsung ke dalam lagi untuk mengambil mobil di garasi. Dan di sepanjang jalan menuju rumah Ara, Haze bertanya banyak hal kepadanya. Dari situ, ia semakin kenal dengan gadis ceria itu. Membawanya semakin jatuh dalam perasaan asing yang membuatnya penasaran.

“Ara punya hobi, gak?”

“Wah, banyak, Ze! Melukis, membaca, bikin puisi, nulis cerita, mendongeng, merajut, jalan-jalan, nyanyi walaupun suara jelek…”

“Keren ya.”

“Haze hobinya apa?”

“Aku gabung di orkestra, Ra. Bisa main piano dan biola.”

“Suka baca buku?”

“Suka.”

“WAW. A boy with books and piano and violin…”

“Hah? Maksudnya?”

So sexy.”

Haze tertawa mendengar pujian aneh dari Ara.

Sebelum mereka berpisah, Haze memberi Ara satu tiket konser orkestra yang langsung disambut Ara dengan pekikan girang. Momen-momen setelahnya juga menyusul. Dari pertemuan-pertemuannya dengan Ara itu, Haze juga jadi tahu bahwa gadis itu memiliki gaya bahasa dan berkata yang cukup imajiner. Seperti perjalanan kaburnya ke Neptunus ketika dia sedang sedih, pergi ke Wonderland ketika dia terlelap dalam tidur, berselancar di perosotan pelangi, pengin roti buaya tiba-tiba, pengin punya perusahaan Teh Botol Sosro, pengin cukur jenggot Van den Bosch, dan sebagainya. Unik, selalu bikin kangen.

***

Pada suatu hari, ketika Ara usai lomba story telling tingkat SMA dan Mahasiswa yang diselenggarakan suatu universitas, Haze mengajaknya ke Gramedia. Di sana, di depan rak buku-buku klasik abad 19 sampai 20-an, Haze menyatakan sesuatu kepada Ara.

“Ra, aku sayang sama kamu.”

“Haze mau nembak aku, ya?”

“Hih, responnya loh. Harusnya diam aja dulu.”

“Iya, iya, Ara bakal diam.”

“Iya, aku mau nembak Ara. Ara mau gak jadi pacar Haze yang jelek ini?”

“Maaf, setampan pangeran kek gini masih ngaku jelek?”

“Ara, serius. Gak lagi bercanda.”

“Iya, aku juga sayang sama kamu, Ze. Aku mau.”

Senyum Haze mengembang lebar. Sekarang, mereka tidak lagi pulang dengan hati yang bertanya-tanya tentang kata ‘kita apa’, melainkan bergandengan tangan dengan penuh cinta.

Tentu saja ini bukan ending, pembaca. Belum, karena ketika Haze yang satu tingkat di atas Ara lulus SMA, dia harus kuliah di luar kota. Jarak bukan masalah besar bagi mereka berdua karena tahu bahwa meraih mimpi adalah kepentingan paling utama. Masalah yang dihadapi mereka bermula ketika pada suatu hari, ketika Ara sedang nongkrong bersama teman-temannya sepulang sekolah, ia menerima telfon. Dari Mamanya Haze.

“Ra…”

“Iya, Tante?”

“Ara harus kuat karena tante juga bersikeras menguatkan diri.”

“Kenapa, Tante? Ada apa?”

“Haze, Ra. Kecelakaan. Benturan keras mengenai tulang ekornya dan…”

“Tante, kenapa Tante?”

“Lumpuh, Ra. Haze lumpuh. Permanen.”

***

Ketika Haze siuman, ia melihat di sampingnya Ara menatapnya dengan air mata yang mengalir. Ia membawa stroberi, buah kesukaannya. Sembari mengelus rambut Haze yang menyembul dari perban yang melilit kepalanya, Ara mulai berbicara kepada kekasihnya.

“Ze, yang sakit mana?”

“Haze sakit semua ya badannya ya?”

“Ganti aja gimana? Haze aja yang sehat, Ara yang di situ. Ara gak tega lihat Haze kesakitan…”

Laki-laki itu menatap Ara dengan air mata yang setetes mengalir dari matanya. Dia masih belum kuat berbicara, sehingga hanya menjawab Ara dengan gelengan kepala.

“Haze gak usah khawatir, ya. Cepet sembuh biar kita bisa jalan-jalan lagi.”

Air mata kembali menetes, Haze menggelengkan kepalanya.

“A…aku lum..puh, Ra…”

“Emang Ara peduli? Tetap Ara ajak jalan-jalan. Tenang, tangan Ara kuat, Ze. Bisa dorong Haze ke mana pun!”

Memang begitu adanya. Mereka masih bisa jalan-jalan meski dengan bantuan sopir keluarga Haze yang mengantar ke mana-mana. Setelah pertemuan di pantai ketika Ara menginginkan awan berbentuk domba, mereka jalan-jalan lagi ke daerah pegunungan. Waktu itu, mereka juga bersama keluarga Ara.

Mama dan Papa Ara pergi menyusuri jalan setapak berduaan dan meninggalkan anak mereka bersama Haze. Mereka sendiri kemudian berada di restoran di tepi tebing dengan Ara meminum coklat panas dan Haze yang menatapnya.

“Ra, badanku semakin lemas beberapa hari belakangan ini.”

“Sebentar, Ze. Aku mau searching olahraga yang bisa dilakukan sambil duduk. Kamu jarang olahraga, sih, makanya lemes.”

“Bukan begitu, Ra.”

“Aku merasa sudah saatnya.”

“Saatnya apa?”

“Kamu tentu paham firasat orang yang kematiannya sudah dekat.”

“Lah, Haze gak boleh bercanda!”

Hening beberapa menit. Ara marah dengan ucapan Haze, sedangkan Haze tidak tahu harus menjelaskan apa lagi.

“Ara harus ikhlas, ya. Kalau Haze pergi, Ara gak boleh nangis. Ara bisa cari cowok lain yang bisa bikin Ara bahagia, kok. Cuma satu, jangan pernah lupakan bahwa Haze pernah mencintai Ara,” ucap Haze kemudian.

“Haze kok jahat ya mau meninggalkan Ara?”

“Ra, aku gak mau ninggalin kamu. Tapi kematian tentu bukan di bawah kendaliku, Ra.”

“Aku gak tahu, Ze, harus marah atau menangis. Aku marah karena ucapanmu tentang kematian menyakitiku hingga ulu hati. Aku sedih juga karena kamu seyakin itu akan meninggalkanku selamanya.”

“Tidak selamanya, Ra. Kita akan bertemu di surga, bukan?”

***

Wanita tua itu menghentikan gerakan merajutnya. Air mata menetes tanpa henti dari kedua mata dengan kelopaknya yang keriput. Piringan hitam sudah berhenti berputar. Sunyi, hanya terdengar suara isakannya.

“Ze, Ara kangen…”

Lalu, ada suara langkah kaki memasuki ruangan.

“Sayang, belum tidur? Hentikan dulu merajutnya. Besok lagi,” ucap seorang pria yang lebih tua darinya. Ara masih menangis.

“Teringat Haze?”

Ara masih menangis.

“Besok kita ke kuburannya, ya? Kita doakan dia.”

Ara mengangguk, masih menangis. Pria itu kemudian memeluk Ara, membiarkan istrinya membasahi baju tidurnya. Pria itu, merupakan kakak dari mendiang Haze.

 

Comments

Popular Posts