LAUT BIRU TUA

 

“So, I love you because the entire universe conspired to help me find you.”

Klap!

Gadis itu menutup buku berjudul The Alchemist karya Paulo Coelho lalu mengambil tisu toilet untuk membersihkan diri sesudah buang air besar. Setelah menekan tombol flush toilet, mengambil novel The Alchemist yang ia letakkan di kabinet, ia keluar.

Pameran lukisan itu masih berlangsung dengan hidup. Di sana juga terdapat acara melukis on the spot dengan kanvas, alat lukis, dan cat yang disediakan panitia. Gadis itu duduk sambil memegang novelnya dengan mata yang terarah ke sebuah lukisan ladang bunga poppy. Bentuk bunga poppy sangat unik: laiknya kapsul bulat dengan biji berwarna hitam serta kuntum bunganya berwarna-warni seperti cangkir. Namun, untuk jenis bunga poppy opium (Papaver Somnivera) yang berasal dari Eurasia dan dibudidayakan sejak 6000 tahun silam, tanaman tersebut memiliki zat narkotika.

“Dari satu sampai sepuluh, berapa nilai pameran ini menurut kamu?” tanya seseorang di sampingnya, seorang gadis seusianya dengan baju artistik, berumbai dan berkorset yang mungkin dari era Gotik.

“8. Cukup bagus tapi menurutku terlalu ramai.”

“Sungguh? Oh, mungkin kami harus mengatur kuota kunjungannya! Aku juga merasakannya, kok. Ruangan jadi terlalu penuh. Orang-orang tidak bisa leluasa menikmati karya yang ditampilkan. Terima kasih!”

Gadis itu berlalu. Aneh, tetapi mungkin saja ia merupakan panitia yang bertugas mencari tahu kekurangan pameran untuk dievaluasi.

“Halwa, aku sudah selesai!” gadis itu menoleh ke sahabatnya yang belepotan cat. Ia ikut painting on the spot sedangkan Halwa hanya menunggu dan melihat-lihat.

“Mana lukisannya? Mau lihat, dong!”

Kiara menunjukkan lukisan yang tertempel di area painting on the spot. Peraturan pameran itu, Anda bisa melukis dengan alat dan perlengkapan yang disediakan, namun karya Anda harus tetap tinggal di area pameran untuk dipajang.

“Melukis apa kamu, Ra? Tidak jelas.”

“Bukan lukisanku yang tidak jelas, minusmu yang bertambah. Cepat periksa ke dokter mata, deh, kasihan tuh mata.”

“Bentar, mau mendekat sedikit,” lanjut Halwa. “Ini versi gagalnya Roses karya Van Gogh, kah?”

Kiara hanya menyengir. Ia tahu, ia tidak akan bisa melukis sebagus Halwa yang karyanya sudah pantas dipajang di bagian utama pameran. Padahal ia ingin melukis Roses karya Van Gogh dan membayangkan bahwa duplikasi karya terkenal dari tahun 1890 itu dipajang di Amsterdam Art Museum bagian Van Gogh Exhibition. Kiara tidak pandai melukis, tapi ia suka melukis dan museum.

Sedangkan karya Halwa adalah lukisan buram seorang laki-laki yang duduk di tepi danau. Tidak jelas siapa karena hanya nampak punggungnya dan Halwa sengaja memburamkan lukisannya.

Kata kunci: lukisan, buram, hitam-putih, laki-laki

Pertanyaan: Halwa melukis siapa?

“Wa, itu siapa, sih?”

“Siapa lagi kalau bukan laki-laki yang sudah meninggal lima tahun lalu?”

***

I cloudn’t even explain to you how good my heart, my feeling, my souls my life, to look up across my room and see you standing there, looking at me.

Halwa melihat laki-laki itu berdiri di kamarnya. Menyambutnya dengan senyuman khas. Ia tahu bahwa itu bukan tubuh asli, hanya jiwa dan imaji yang berhasil ia ciptakan sendiri. Tapi ia tetap senang, memeluk bayangan yang sesungguhnya tiada.

Bayangannya seperti bunga diphylleia grayi, transparan dan dingin. Terdapat kuning keemasan di tengah bunga itu, seperti tanda hidup dan kekuatan jiwa. Lalu, apa yang menjadi inti dari sosok laki-laki itu? Kasih sayang tak terlupakan.

Berlalunya kabut bayangan laki-laki itu menyisakan Halwa yang berdiri di depan cermin sambil termangu. Rambutnya sudah tercabik hari, bajunya sudah bercampur bau debu, wajahnya muram seperti awan hitam mengandung badai kumulonimbus. Ia menjatuhkan diri, terduduk dan menangis: if you must die, I’ll envy even the earth that wraps your body. Kata-kata Albert Camus dalam State of Siege berputar dalam kepalanya.

Ia mengambil sebuah kertas coklat dan menulis puisi karya Benedict Smith.

 

“I wish I wrote the way I thought;

Obsessively,

Incessantly,

With maddening hunger.

I’d write to the point of suffocation.

I’d write myself in to

nervous breakdowns,

Manuscripts spiraling out

like tentacles into abysmal

nothing.

And I’d write about you

a lot more

than I should.”

 

Ia kembali terdiam. Ini adalah kisahnya dan gadis itu bebas untuk membuat plot twist cerita kapan pun ia mau. Setelah lima tahun ditinggal kekasih dalam kecelakaan kapal yang membuatnya tak bisa melupakan serta memaafkan semesta, Halwa menjadi beda. Dalam arti ia tetap gadis ceria yang sama, tapi ia juga seorang penangis dalam kamar tidurnya. Jika kau menelisik lukisan-lukisannya, maka campuran airnya adalah air mata. Jika kau mengusut kata-kata di dalam kepalanya, maka tiada lain hanya kesedihan yang terdapat di sana.

Lantas apa?

Ia terjun ke dalam lautan biru tua nan dalam. Ia mencari-cari paus tuk melahapnya, tapi paus itu telah terbang ke atas langit dan mengangkut mimpi-mimpi rasa bahagia manusia di atas punggungnya. Maka ia menyelami laut semakin dalam, mencoba mencari serpihan badan kekasihnya. Ia tak dapat apa pun kecuali gelap gulita.

Ia tak dapat apa-apa kecuali suara yang menggema dalam gelombang tenang lautan luas.

“Halwa, jika kau mencariku, maka tak ada tempat yang lebih baik selain hatimu.”

Lalu, Halwa pun terbangun dari tidurnya.

***

Klap!

Gadis itu menutup buku berjudul The Alchemist karya Paulo Coelho lalu mengambil tisu toilet untuk membersihkan diri sesudah buang air besar. Setelah menekan tombol flush toilet, mengambil novel The Alchemist yang ia letakkan di kabinet, ia keluar.

Pameran lukisan itu masih berlangsung dengan hidup. Lukisannya juga sudah dibeli oleh seorang kolektor.

Comments

Popular Posts