OPINI: TREN THAT GIRL DAN SISI DESTRUKTIF DI DALAMNYA
Dalam sebuah artikel di fashionjournal.com, Seerut
K. Chawla, seorang psikoterapis, mengatakan bahwa obsesi tak sehat untuk terus
menampilkan sisi terbaik ini adalah dikotomi yang konyol karena di satu sisi
kita memiliki cara hidup yang egosentris (terpaku pada diri sendiri) tetapi di
sisi lain kita menjadikan diri sendiri sebagai proyek di mana kita harus selalu
menjadi lebih baik untuk ditunjukkan ke orang lain (dan menginspirasi).
Video dan gambar yang banyak beredar di media sosial
yang menginspirasi kita untuk menjadi estetik juga bisa dikatakan distruktif
karena bisa menginternalisasi otak dan menuntut kita untuk berbuat sama. Jika
minimalisme mengajarkan kita untuk rapi dan hidup seminimal mungkin, maka that girl menuntut kita untuk
memperindahnya dengan menambah ornamen-ornamen di dinding, berpakaian dengan
estetik, barang-barang lucu dan vintage,
serta lainnya yang berujung pada pemborosan.
Pernahkah kalian melihat postingan seperti dark academia outfit, matcha outfit ideas, dll?
Apabila kita telan mentah-mentah postingan tersebut, kita dapat terdorong untuk
membeli baju-baju baru dan menambah sekian banyak presentasi fast-fashion serta penumpukan limbah
industri tekstil. Data dari United Nations Environment Programme (UNEP)
menyebutkan bahwa industri fashion bertanggung
jawab atas 10% emisi karbon global tahunan dan diprediksi akan melonjak lebih
dari 50% pada tahun 2030. Bagaimana dengan thrifting?
Tren thrifting
yang mengkampanyekan sustainable living ternyata juga membawa
dampak negatif, loh. Harga baju bekas yang murah dapat memicu orang untuk
membeli lebih banyak baju dari yang seharusnya. Sifat konsumtif ini dapat
memperbanyak jumlah baju yang berujung terhadap banyaknya pakaian yang terbuang sia-sia.
Yup, kita sedang menghadapi lingkaran setan.
Kembali lagi ke fenomena that girl. Tren ini kebanyakan berisi wanita putih (kaukasoid)
dengan badan langsing dan wajah good-looking.
Niat yang pada awalnya menginspirasi akan berujung pada toksik karena standar
kecantikan yang akan mengarah ke erosentrisme. Jika masyarakat Indonesia
mengadopsi standar ini (sebenarnya standar ini sudah eksis di lingkungan kita),
maka ujung-ujungnya kita tidak akan realistis dengan menuntut diri menjadi
putih, mancung, tinggi, cantik, dst.
Well, tren that girl yang menimbulkan produktivitas toksik dan standar yang tidak realistis ini seakan memberi label bahwa kehidupan yang seimbang hanya bisa dicapai ketika kita menjadi seperti yang ditampilkan konten that girl and how to become like her? Sesungguhnya, perjalanan mengenali diri seorang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Serta merta, romantisasi kehidupan yang penuh estetika mungkin bukan solusi yang selalu tepat untuk menyelami diri.
Menurutku, konten that girl bisa menjadi hiburan dan tontonan yang menarik, tetapi hanya sebatas itu dan kita tidak harus menjadi seperti mereka. Lantas, bagaimana pendapatmu?
Referensi
https://sdgsummit.id/sdgs-now/sisi-buruk-dari-glorifikasi-tren-thrifting/
https://www.bustle.com/life/what-does-that-girl-mean-tiktok-viral-trend
Comments