RUMAH
Tanggal 27 Agustus 2022 berarti aku sudah genap sebulan di Jakarta (it’s actually Depok, though). Beberapa hari belakangan ini aku sangat rindu rumah, ingin pulang ke Banyuwangi. Tentunya tidak bisa karena aku harus kuliah di sini dan hanya bisa pulang Januari tahun depan (itu saja kalau tidak ada proker—I know I have some projects until the second week of January).
Tentang rumah, hidupku dari dulu
pindah-pindah. Aku punya dua orangtua yang mengharuskanku untuk tinggal di sana
dan di sini secara berkala. Tetapi, keduanya tetap rumah tempat aku nyaman
berada dalam pelukan kasih sayang. Di sini, aku tidak punya siapa-siapa—aku punya
teman, tapi tentu saja rasanya berbeda.
Sebulan di kota ini, aku merasa
sesak dengan hiruk pikuk manusia. Semuanya serba terburu-buru, tidak sabar,
berisik. Aku selalu mengeluh dengan kendaraan yang melewati jembatan
penyebrangan saat berhenti di lampu merah. Aku benci klakson yang dibunyikan
dengan tak sabar. Aku tidak nyaman dengan selipan-selipan sepeda motor yang
mepet badan kendaraan besar. Aku tidak suka orang-orang yang bicara terlalu
lantang dan cepat. Bisakah semuanya lebih pelan?
Jakarta berisik. Semua ingin
cepat mendahului satu sama lain. Pikiranku jadi ikut penuh, diliputi berbagai
rasa sumpek. Aku juga ingin menghirup aroma pantai Banyuwangi, bukan bau sungai
tercemar di kota ini. Aku ingin dingin pegunungan, bukan pendingin buatan
seperti AC dan kipas. Aku ingin ini… begini…
Rasanya, ketika aku berpikir
banyak tentang kota ini, dengan melihat kembali seorang Aufi satu tahun lalu
yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan impian, aku merasa kecil. Bukankah
ini yang kubayangkan tahun lalu? Keluar dari zona nyaman, jauh dari orangtua,
menjadi perempuan kuat, bukankah ini? Pemikiran-pemikiran seperti itu
menggerayangi otakku, menuntutku untuk lebih bersabar sedikit lagi. Tiga tahun
akan terlewat, kamu akan lulus, kamu akan kuat. Setelah lulus, bukankah beban
akan bertambah karena aku harus terjun ke masyarakat?
Aku jadi ingin menangis keras
saat ini juga, seperti anak kecil yang tak rela pisah jauh dari ibunya. Lantas,
aku terus menyibukkan diri agar tak bersedih. Kuliah, hangout bersama teman-teman, membaca buku, melukis,
mengerjakan berbagai tugas organisasi dan kepanitiaan, dst. Tetap saja,
pemikiran tentang rumah, pulang, dan tumbuh dewasa menghantui kepala.
Sambil menulis, aku berpikir
bagaimana jika aku tetap berada di rumah dan di kotaku yang kecil. Kota yang
lebih sepi, nyaman, tapi tak cukup bagiku untuk tumbuh lebih kuat. Jadi, di
sini aku ingin merangkul dan memeluk Jakarta. Kota yang berisik, terburu-buru, tapi
penuh dengan keberagaman. Aku ingin menerima kota ini, maka aku harus bisa
mendamaikan hatiku sendiri. Dengan jiwa petualang dan rasa ingin tahu yang
telah ada sejak kecil, rasanya aku tahu aku harus melakukan apa untuk saat ini.
Karena
aku masih punya rumah sebagai tempat pulang, maka aku akan berkelana ke mana
pun untuk mengetahui makna kehidupan juga sebagai pembelajaran.
Sekarang pukul 0.29 dini hari. Jakarta gerimis, tapi hatiku sudah cerah. Saatnya tidur, besok akan ada hari yang indah, serta esok lagi dan seterusnya.
Comments