Poetries #3
Belakangan ini, aku menulis puisi-puisi yang tiba-tiba terlintas dalam kepala. Kutulis saat menunggu kereta, hujan reda, dan dalam diam ketika aku tak harus melakukan suatu hal. Dalam puisi-puisi ini, aku letakkan kata-kata yang berlarian di kepala. Tentunya, agar abadi.
#1
Terlucuti oleh angin,
selendang sang gadis berkibar dan lepas dari leher dan bahunya. Tibalah ia
berjingkat meloncat meraih selendang yang terbang seperti karpet Aladdin itu.
Jatuh, gadis itu jatuh terperosok dalam lubang nan tak dalam namun sanggup
membuatnya terdiam. Ia menahan sakit dengan membisu. Kala sakitnya sudah reda,
selendangnya sudah tiada di sana. Entah ke mana.
#2
Mereka menyebut kita bagai
frasa
yang bila terpisah akan
lain maknanya.
Kita percaya lalu
tersenyum dan berpandangan.
Kita menjalin tangan,
berpeluk-peluk
bagai puzzle yang
akhirnya menemukan
pasangannya.
Kita adalah krisan yang
implisit baunya.
Perlu mendekat tuk dibau
betapa saling
mencintainya.
Kita adalah kekasih yang
bila tak ada hujan
kan basah oleh
rintik-rintik lugu air mata rindu
yang tiap berpisah kan
muncul
meski barang sedetik dan
sejengkal jauhnya.
#3
She is still in her
couch when the smell of the most fragrant leaf falls down. The morning. The
rain. The rocks. The books that she read. The tea. The smell of the tea. The
cloudy sky makes her more comfort than before. She fall asleep. Dreaming about
memories: during the rain when both her and him, walk through with the joy. She
wakes up and realize that she just a pathetic girl with all the endless
suffers. She missed him.
#4
Untuk ke sekian lama masa berpisah, aku kembali harus berkeluh kesah. Pada asap memori yang
membumbung tinggi dan semakin melubangi perisai ozon kebahagiaan. Aku harus
melupa, kian berlalunya hari, yang ada aku malah semakin menghafal.
Kau datang dengan senyum
yang masih sama. Kelembutan yang masih sama. Pegangan yang masih kuat pada
tanganku yang kecil. Dan kau pun berlalu pergi. Seperti
asap, kau hilang tiada lagi. Namun memori, jangan tanya: itu selalu ada dalam
pikiran dan hati.
#5
Ia bertanya dalam pelan
yang tak mungkin terdengar kala hujan apabila mati mungkin tak sebegitu
menyakitkan bila hidup terus diguyur pesakitan. Katanya tak bisa bunuh diri
sebab akan berujung siksaan api, tapi apa daya, tak ada yang lebih menyakiti
dari realitas eksistensi. Membenamkan diri dalam kebingungan tak kan bisa
mendapatkan jawaban, lantas harus bertanya ke siapa lagi saya, Tuan?
Padam. Padamkan api itu.
Padamkan marah itu. Sembuhkan kebingungan itu.
Diam. Diamkan ombak itu.
Diamkan gejolak itu.
Tenang. Tenangkan
dirimu.
Katanya, ada akhir dari
setiap awal, dan lalu kemudian pada akhirnya—OH, konjungsi atau kata apalagi
yang harus saya tuliskan untuk mengakhiri kalimat terakhir yang belum tersusun
pun terjawab ini?
Sekian.
#6
Mentari memekik pada langit yang katanya menjadi rumah tempat ia bersinar pun pada bumi yang seharusnya menerima sinar kehidupan. Mentari berteriak pada siang, sore, malam. Pada tangisan anak bayi yang baru lahir pun pada nisan yang baru ditancapkan.
Ia berlari di antara awan,
berpacu lomba dengan kereta yang melintas. Ia terkadang merenung terdiam di
antara detik 00.00 menuju 00.01 bersama para kunang-kunang yang akan berangkat
salat tahajud. Ia sedih terhadap kesedihannya, sedih karena kekosongan hatinya,
sedih tidak tahu harus ke mana.
Tapi kata mereka, dia
harus tetap bersinar.
Ia hanya ingin redup
sejenak seperti matahari yang tidur kala malam. Tapi kata mereka, dia harus
terang kapan saja. Tak peduli kata Bapak, Mamak, atau Pujangga.
Dan ketika ia hendak
berlari menuju bulan untuk ber-tos ria karena sama-sama terang, dunia
meredupkan impiannya tuk menjadi bintang. Setop, kata mereka. Cukup sampai di
sini, karena batasmu sudah di sini. Kamu tidak boleh di situ, ke situ. Kali
ini, menurutlah!
Padahal Mentari tiada
pernah tidak menurut.
#7
Tiap detik, menit, dan
hembusan nafas, keretamu berlalu semakin cepat.
Meninggalkan jurang
jarak yang semakin terbentang.
Katamu hanya sementara,
Tapi bagiku sehari
tanpamu bagai setahun tanpa bulan.
Menangis tak mengubah
hal
Maka aku terus merutuki
diri atas air mata yang tak henti keluar
Katamu aku harus kuat
Tapi kata ibuku, kuat
bukan berarti tidak boleh menangis
Bagimu, aku bungamu.
Bagiku, kamu
batangku.
Tiadalah sampai sesosok
tumbuhan berbunga tanpa batang, bukan?
Aih, Tuan.
Jikalau kau mau pergi,
pergi saja yang jauh.
Aku tak peduli (tapi aku
peduli)
Jikalau kau mau
menghilang dari bumi, menghilang saja sana!
Aku tidak takut (tapi
aku takut)
Jikalau kau mau
merindukanku—rindu saja dengan sangat.
Karena kataku, jawabku,
pasti kata “juga”.
#8
Kita adalah pedang yang
saling beradu, tak ada yang mau mengalah pun jatuh.
Saling kuat menarik, ego
besar yang tak ingin direbut. Takkah tali itu tak terancam menipis lalu
putus?—jangan ucap kata itu.
Padahal bahagia murah, katanya. Tawa mudah didapat, kata mereka. Tetapi yang selalu diraih hanya perih,
tangis,
maaf dan maaf.
#9
punggungku semakin
menjauh dalam tatapan nanarmu yang lelah pun mengantuk. jangan pergi, katamu.
besok-besok saja, terlalu cepat untuk pergi sekarang.
kadangkala memang
begitu. kita mengira terlalu singkat, tetapi seperti musim semi, masa
berbunga-bunga jauh terasa lebih singkat dibanding masa dingin membeku.
sebentar. lalu, begitu
juga kau? apakah kau bahagia saat aku bersamamu sehingga waktu seperti cepat
berlalu?
kita bisa
menghentikannya. waktu. lewat ciuman-ciumanmu. lewat tatapan tulusmu. lewat
senyuman tak lekang waktumu.
tapi itu sudah
lewat.
kita tunggu yang akan.
jangan pergi,
katamu.
namun, punggungku tetap
terus menjauh,
mengecil,
menghilang dimakan
jarak.
#10
Sore ini, hujan tak
membawa melankoli.
Ia datang, perlahan dari
mendung yang tajam
hingga menembus
sanubari.
Angin bertiup kencang
menghembuskan bendera-bendera
seperti manusia-manusia
yang menghembuskan
karbon dioksida.
Sore ini, hujan tak
membawa kesedihan lagi.
Diloncatinya
kubangan-kubangan dari hujan oleh katak sambil bernyanyi.
Dibuatnya mandi oleh
anak-anak yang beriangan lari-lari.
Disyukurinya oleh
petani-petani yang ingin sawahnya tak kekeringan musim ini.
Sore ini, hujan membawa
bahagia ke hati ini.
Ia diiringi
keheningan-keheningan dengan suara gemericik yang menghantarkan tidur penuh
mimpi.
Ia menjadikan
manusia-manusia yang tergopoh
terburu
diburu waktu
tuk meneduh dan
berkontemplasi
Ia menjadikanku
terduduk, tersenyum, sambil berkata ke diri sendiri
besok kita coba lebih
baik lagi.
Comments