SEBUAH CERPEN: NUN DAN KARAM

Sumber Gambar: https://pin.it/7bmWAyR

Jika kamu bertemu, mengenal, atau bahkan berteman dengan seorang laki-laki bernama Karam, maka jangan beritahu dia tentang cerita ini. Jangan beritahu dia perihal aku yang mengisahkannya dengan sengaja, menjadikan bayang-bayang kehadirannya sebagai prosa dalam kepala yang tertinta dalam ketikan lalu menjadi narasi utuh sebuah cerita. Diam. Jangan beritahukan dia. Aku menulisnya diam-diam di sini. Tutup mulutmu, jangan sampai ada yang tahu. Kalau kamu memberitahukan ini kepadanya, aku akan mendatangimu, mengetuk pintu rumahmu, lalu mengeluarkan sumpah serapah dengan teriakan yang sekeras sangkakala—meski aku tidak tahu sekeras apa bunyi sangkakala itu.

Karam. Namanya unik bukan? 

Tujuh tahun lalu, hari Minggu, 8 Desember 2007, di sebuah dermaga, aku duduk di sampingnya. Ia sedang sibuk membaca-baca artikel mengenai lukisan Gustav Klimt yang berjudul The Sunflower yang dilukis tahun 1907. Ia sebegitu tertarik pada goresan cat minyak pada lukisan itu sehingga tak sedikitpun menoleh pada hal lain, terutama aku.

Karam, laki-laki yang namanya bersinonim dengan frasa ‘tenggelam dalam lautan itu’, sedang menenggelamkan konsentrasinya dalam lukisan Gustav Klimt. Aku tidak tahu apa yang menarik dari lukisan itu. Bunga matahari yang menjulang di depan tembok hijau tanaman terkesan biasa saja. Meskipun coretan cat minyak dan perpaduan warnanya bisa dikatakan sempurna, tetapi aku tidak tahu apa makna yang disembunyikan oleh Gustav Klimt dari lukisannya itu. Terlihat hanya alam biasa. 

Ah, selera seniku dengan Karam memang berbeda.

Aku menyukai Pablo Picasso dengan karya Demoiselles D’avignon yang menjadi favoritku. Informasi mengenai kesukaanku ini mungkin tidak terlalu berguna karena di sini, meski penutur dari kisah ini adalah aku, meski dalam sudut pandang hidupku harusnya keakuanku lah yang paling utama, namun Karam–laki-laki itu–adalah tokoh utamanya.

Aku terus memikirkannya tiada henti. 

“Nun, sudah selesai kamu menulis cerpenmu?” Akhirnya ia bersuara setelah berabad-abad ditelan kebisuan makhluk mati namun hidup bernama ‘konsentrasi’.

“Sudah sedari 30 menit lalu. Omong-omong, Aku ingin sesuatu, Ram.”

“Apa?”

“Ayo jadi awan.”

Karam tersenyum mendengar ajakan anehku. Aku rasa itu bukanlah suatu ajakan yang aneh. Ungkapan itu hanya sekalimat puisi tak tertulis yang tiba-tiba muncul dalam kepala lalu kudistribusikan melalui lisan.

“Kenapa ingin jadi awan, Nun?”

Aku diam saja, menyisakan ajakan menggantung dan rasa penasaran Karam yang mungkin tak berujung. Dia mengerutkan dahi hingga kedua pasang alisnya hampir bertemu seperti kekasih yang saling menyimpan rindu. Dia berpikir.

“Nun, ah! Kamu selalu penuh teka-teki.”

“Aku ingin menjadi awan sebab aku ingin melihat manusia yang hiruk pikuk di bawahku. Manusia yang terkadang suka dengan eksistensiku yang menutupi teriknya surya tapi terkadang juga ketakutan karena mendungku membuat mereka khawatir kalau-kalau hujan. Mereka harus berteduh, mengangkut dagangan, memakai mantel, membawa payung… oh! Hanya anak-anak kecil yang mau menari-nari di bawahku ketika hujan.”

“Kalau begitu aku mau jadi angin, Nun.”

“Kenapa begitu?”

Kamu tahu dia menjawab apa? Kata dia, angin membawa awan ke manapun ia berhembus. Ia ingin meniupku, mengarahkanku ke suatu tempat di mana aku bisa menumpahkan hujanku dengan tepat. Ia juga ingin membantuku mengamuk dengan mengirimkan angin kuat dan menghasilkan badai bersama-sama.

Sayangnya percakapan itu hanya secuil kisah imajiner yang tiba-tiba muncul dalam pikiran kami. Kami saling menyahut pemikiran aneh seperti dua penyair yang berperang dalam bait-bait puisi berantai. Percakapan itu lalu berakhir karena aku harus pulang. 

Bunga pukul 9 sudah kuncup sedari tadi. Aku harus bergegas kembali ke laut karena kulitku sudah mulai menunjukkan sisiknya. Paru-paruku mulai melemah dan jari-jari kakiku sudah mulai menempel.

Tenang, aku tidak akan jadi duyung, sumpah. Sekali lagi, itu hanya imajinasi dan ocehan tak biasa dalam otak yang kutuangkan dalam kata-kata. Aku hanya harus cepat pulang karena kalau tidak, Ayah akan memukuliku. 

***

“Ram, ingat tidak dengan pertemuan pertama kita?”

Karam menoleh. Matahari yang mau tenggelam itu menerpa wajah khas dengan darah pelautnya.

“Tidak.”

Aku menimpuknya dengan ensiklopedia karya-karya lukisan Affandi yang tebalnya 2.5 cm. Karam mengaduh.

“Jangan menduplikasi Ayahmu yang suka memukul, dong, Nun.”

“Okey, dark joke-mu kena,” sahutku sambil tertawa kecil. 

Jadi, sore itu–masih dalam kurun waktu tujuh tahun lalu–kami ada di dermaga. Kami menatap selat laut yang  berujung pada Samudera Hindia. Sepertinya kata ‘laut’ adalah hal yang paling aku dan Karam akrabi. Laut adalah ujung arti dari nama kami. Karam dengan tenggelamnya, dan aku Nun, perpanjangan dari nama ikan yang pernah menelan Nabi Yunus.

“Jadi kapan Nun kita ke lautnya?”

Aku terdiam sejenak.

“Sebentar ya, sedikit lagi. Walaupun dunia ini menyebalkan, tapi ada beberapa hal yang membuatku menyukainya. Seperti karya-karya Affandi yang kutemukan di ensiklopedia ini, seperti impianku untuk tinggal di Swiss, seperti impianku untuk membangun perpustakaan dengan tema arsitektur gotik.”

“Baiklah. Tapi Nun, kalau aku, hal yang membuatku tetap bertahan di daratan ini cuma kamu.”

Lalu aku menoleh pada matanya yang bening dan memantulkan warna biru laut itu. Ya, kami adalah dua orang yang sama-sama hancur tapi ingin saling menyembuhkan. Tapi kami gagal, karena kenyataan hidup yang kami terima seperti enggan membuat kami sembuh. Kami sekarat.

***

Aku ingat ketika Karam memberiku coklat di tanggal 14 Februari 2008. Hari itu, katanya hari spesial untuk para manusia yang ingin mengungkapkan rasa cinta. Diam-diam, aku menunggu saat-saat Karam mengungkapkan perasaannya padaku. Karena sejak pertemuan pertama kami di Pantai Parangtritis pada bulan Juni 2005, ia sudah menyihirku. Kilat matanya membuatku terpaku dan dari perahu kecil kebanggaannya yang ia parkirkan di pantai itu, detik itu juga aku bersedia diajak berkelana mengelilingi samudera yang biru.

“Nun, ini buatmu,” katanya.

“Dalam rangka apa, nih?” tanyaku.

“Terima kasih telah menjadi temanku.”

Dan berulang kali hatiku dibuatnya hancur berkeping hingga serpihannya sekecil biji debu. Tetapi, bukan Karam namanya kalau tidak datang dengan seribu kisah pilu. Ia lantas mengajakku ke Dermaga. Lagi. Ya, tempat yang bagai sebuah pintu laut itu.

“Nun, kemarin ibuku membawa pria baru,” ucapnya dengan nada sembilu. 

Aku hanya terdiam, menunggu ia melanjutkan.

“Kamu tahu kan, bahwa rumahku sesempit rumah tikus. Begitu kecil hingga aku tidak punya kamar sendiri dan harus bergantian dengan ibu tidur di kamar dan satunya lagi di ruang tamu. Yah, seminggu lalu ibu hanya mengajak seorang pria mampir mengopi lalu pergi lagi. Tetapi kemarin, Nun, aku mendengar suara-suara yang seharusnya tidak ada di situ.”

“Aku hanya meringkuk di ruang tamu. Mereka seperti tidak tahu jika di situ ada aku. Ayolah, setidaknya di lain tempat saja. Aku capek, Nun!”

“Nun, ayahku rela melaut berminggu-minggu untuk menghidupi kami. Ia rela mempertaruhkan nyawanya di antara samudera dengan seribu badainya hanya demi keluarga. Tapi ibu?”

Karam kehabisan kata-kata, ia menangis di pelukanku. Beberapa menit kemudian, setelah tenang kembali menghadiri hati laki-laki itu, kami kembali mengobrolkan tentang hal-hal yang lebih menyenangkan. Seperti tentang lukisan-lukisan kapal dan laut yang dibuat pelukis-pelukis Belanda pada masa VOC.

Tiba-tiba, Karam menanyakan sesuatu yang merapuhkanku.

“Nun, ayahmu tidak memukulimu lagi, kan?”

Aku menangis. Dua hari lalu, Ayah kembali memukulku hingga begitu biru.

***

“Jadi Nun, kapan kita ke laut?”

Pertanyaan itu kembali diajukan oleh Karam. Pertanyaan bernada putus asa karena kami–terlebih dia–tidak kuat lagi menanggung kekejaman dunia. Ia ingin ke laut untuk menenggelamkan diri, karam seperti namanya. Ia mengajakku, seperti ikan Nun yang lenyap dalam gelapnya lautan: yang meski rumornya masih hidup, tapi tak pernah berhasil ditemukan.

Aku masih menolak. Jangan dulu, kataku. Aku masih ingin memetik edelweis di Bromo. Aku masih ingin berperahu di Danau Toba. Aku masih ingin lulus kuliah. Masih banyak hal yang menjadi alasanku untuk mengapung, jadi aku tidak mau tenggelam dulu.

Dan Karam masih menungguku, bertahun-tahun setelahnya, tanpa perkataan cinta dalam lisan. Ia masih menungguku dengan sabar, untuk karam di laut bersamanya. 

Sedangkan ibu Karam masih terus membawa pria-pria baru, sedangkan ayahku masih melakukan hal yang seharusnya tak dilakukan seorang ayah kepadaku. Kami masih bertahan, tidak berani kabur dan terus menjadi korban.

***

Suatu hari, kapal ayah Karam karam. Ah, apakah karamnya kapal itu berhubungan dengan nama Karam? Bahwasannya Karam pernah bercerita jika namanya diberikan untuk doa yang sebaliknya. Ia diberi nama Karam agar ia selalu mengapung. Aku tidak mengerti pola pikir seperti itu. Apakah kamu mengerti?

Yang jelas, Karam menangis di saat ayahnya meninggal. Sedangkan ibunya tidak.

Aku tidak terlalu paham dengan konsep pemakaman dan kematian. Kata Ustad yang mengajariku saat aku mengaji dulu, pemakaman adalah upacara untuk mengantarkan seseorang ke alam setelah dunia. Kita semua pasti akan ke sana, cepat atau tidak. Entahlah, tapi kepergian seseorang pasti selalu membuat sedih, bukan?

Tak lama setelah itu, Karam memutuskan untuk pergi jauh. Ia bilang akan bekerja di Malaysia. Aku juga pergi jauh dengan berkuliah di universitas yang ada di kota–meski Ayah tidak mau membiayaiku. Aku harus pontang-panting mencari beasiswa.

Jadi bagaimana, Nun? Kapan kita ke laut?

Karam tidak pernah menanyakan atau memberi kabar. Ia hanya menanyakan kapan aku siap ke laut bersamanya. Dan lagi terus lagi lalu lagi kemudian lagi, aku belum siap. Aku tidak tahu, mungkin saja aku tidak pernah akan siap.

Pembaca, inilah telepon yang mematikan hidupku:

“Halo, Nun,” ucapnya ketika menelponku suatu malam.

“Iya, Ram. Apa kabar?”

“Tidak tahu, Nun. Keadaan makin sulit saja di sini.”

“Ada apa, Ram. Kamu bisa cerita ke aku.”

“Aku menghamili anak majikanku, Nun. Majikanku marah besar, mereka akan memenjarakanku. Namun, Sumrah, kekasihku itu, ia memohon-mohon ke orangtuanya untuk tidak memenjarakanku karena ia mencintaiku. Ia anak satu-satunya, jadi tidak ada pilihan lain bagi orangtuanya. Setelah anak itu lahir, Nun, kami akan menikah. Itu berarti dua bulan lagi.”

Kuas yang kugunakan untuk tugas melukis yang harus kukumpulkan esok hari langsung terjatuh beserta palet yang berisi cat minyak berbagai warna. Karam, oh Karam, ahh… aku tidak bisa berkata-kata.

“Aku cinta dia, Nun.”

Kepalaku semakin pusing mendengarnya.

“Aku tidak tahu kenapa aku melakukan itu. Kami saling jatuh cinta dan kami saling bersentuhan lalu semuanya terjadi begitu saja. Nun, aku bingung.”

Aku mematikan telepon itu. Seharusnya aku simpati, memberi saran, atau mengatakan apa pun pada Karam. Tapi aku hanya diam. Dadaku sesak sekali, tanganku gemetar. 

Kamu tahu, meski beberapa laki-laki teman kampusku menyatakan cinta dan ketulusannya ke aku, aku selalu saja menunggu Karam. Aku menunggu cinta Karam sedangkan Karam menungguku untuk siap tenggelam di laut bersamanya.

Dua bulan lagi ia menikah? Ya Tuhan, aku semakin nyeri membayangkan anak Karam dalam perut wanita bernama Sumrah itu. 

Lalu, Tuhan, jika sejak dulu hidupku penuh luka, kenapa tidak pernah Kau hadirkan padaku rasa bahagia? Apakah memang karam lah jawabannya? Bukan Karam tetapi karam?

Teringat lagi padaku kalimat Karam yang sering ia tanyakan kepadaku.

“Jadi bagaimana, Nun? Kapan kita ke laut?”

Aku akan ke laut sendiri, Ram. Aku akan karam tanpamu.

Sekali lagi, Pembaca, jika kamu bertemu, mengenal, atau bahkan berteman dengan seorang laki-laki bernama Karam, maka jangan beritahu dia tentang cerita ini. Jangan beritahu dia perihal aku yang karam karena cinta tak terbalas, hidup yang hancur, dan semua mimpi yang menjadi buram.


Comments

Popular Posts