A Letter that I Wrote for Him

 (I love him, but I wrote this letter when I felt so sleepy. So it could be ga-nyambung but a tulus letter) 

Aku sedang membayangkan sebuah padang rumput di mana bunga-bunga forget me-not bertebaran dan kita berdua berbaring di rerumputan itu. Aku mengenakan gaun ungu, dan kamu berkaos biru. 

Kala itu, kita sedang berada dalam masa damai yang leganya minta ampun. Kita lalu berbicara tentang masa lalu. Tentang kita berdua yang rapuh, kecil, asing, bergerak melawan badai ujian hidup yang membutakan, menghanyutkan, menenggelamkan, membinasakan. 

Kita bicara tentang masa lalu, di mana kita berdiri tegak, dengan bergandeng tangan. “Yuk kita lalui bersama. Jangan takut, kan kita punya kita.” 

Ya, aku tidak tahu kapan itu akan terjadi. Tapi aku yakin, bahwa kita akan sampai di masa itu. Di mana kita jengah dengan kekuatan luar biasa kita sendiri, di mana kita menertawakan kebodohan masa lalu. Dan di mana kita bertengkar hebat hanya gegara kamu melanggar janji untuk menemaniku makan bakmi. 

Kita akan tenang nanti. Bukan perkara uang yang banyak hingga bisa ke Eropa tiap akhir pekan, tapi perkara hati yang tenang. Hidup yang nyaman, berdua. 

Aku juga tidak ingin hidup kita selalu tenang, kok! Perlu juga loh pertengkaran-pertengkaran kecil untuk suatu hubungan. Tapi kataku, apa pun yang terjadi, sebisa dan semampu-mampunya kita harus tetap mendukung satu sama lain.

Comments

Popular Posts