Cinta & Cita: Sebuah Cerita Pendek
“Sekali-kali coba yang pahit atuh, Fi. Jangan yang manis terus,”
katamu. Dengan klise, aku menjawab bahwa hidup sudah pahit. Ngapain beli
americano segala?
Kamu hanya tersenyum. Lalu mengangkat segelas kopimu, menyesapnya
sedikit sambil mengarahkan pandanganmu ke sekitar.
“Kalau mau ngerokok ya ngerokok aja,” kataku. Kamu menggeleng
karena kamu memang bukan perokok.
“Aku gak ngerokok.”
“Aku pengin lihat kamu ngerokok.”
“Kok gitu?”
“Lucu aja melihat kamu melakukan sesuatu yang tidak biasa kamu
lakukan.”
Hmmm. Hanya kata hmmm (dengan satu h dan tiga m) yang terdengar
darimu. Selanjutnya, hening lagi.
“Aku pengin kita bikin suatu janji deh, Fi.”
Ucapmu tiba-tiba. Entah janji apa, ini?
“Kita, lima belas tahun lagi, berikrar untuk bertemu di sini lagi.
Di tanggal yang sama dan jam yang sama kita ketemu tadi. Catat ya. Entah apa
yang terjadi di antara kita nanti, kita akan bertemu lagi di sini. Siapa tahu
kita perginya bareng? Dari satu rumah, gitu.”
Aku mengheningkan cipta sejenak. Serasa ada nada pesimis dalam
kalimat-kalimatmu. Seakan ada keraguan di antara diksi tersembunyi yang kau selipkan
itu.
“Boleh.”
Hanya itu. Satu kata persetujuan yang sebenarnya ada banyak tanda
tanya dalam kepala.
“Fi?”
“Iya, Mas?”
Hening lagi. Ada yang tersembunyi dalam kepalamu. Utarakan, aku
mohon.
Well, warung kopi itu juga sedang sepi. Tadi cukup ramai, tapi entah
kenapa lebih lengang sekarang. Hanya ada suara napas kita yang terdengar.
“Kita perlu bicara tentang kita.”
Satu kalimat itu membuat hatiku berdegup kencang. Sungguh,
pembicaraan tentang kita adalah topik yang mungkin kurasa terpendam lama dan tinggal
menunggu bom waktu untuk meledak. Dan kataku, inilah saat bom itu meledak.
“Kita selalu berujung bercanda, Fi, saat mulai membicarakan ini.
Jawaban-jawaban bercanda lah. Topik yang ngelantur ke sana ke mari lah. Gak ada
kesimpulannya. Aku minta tolong kita serius bicarain ini sekarang.”
Ah, aku harus respon bagaimana, ya?
“Ya sudah, silakan mulai dulu,” akhirnya aku berkata.
Dan topik itu lagi-lagi menyerang kita dengan sekutu-sekutunya.
Mimpi, visi, misi. Rasanya kita bukan sedang menjalani cinta, tapi mencalonkan
diri jadi pasangan OSIS. Tapi ya gimana? Hidup bersama butuh masa depan yang
sejalan. Setidaknya searah, walau banyak persimpangan. Ini?
Kusesap mojito sialanku sambil mendengarkan kamu mengutara.
“Aku gak bisa ninggalin Indonesia. Kalau seminggu dua minggu gak
apa-apa. Tapi, aku gak bisa ngikutin mimpimu buat tinggal di Jerman sampai
tua.”
“Gak ada tapi?” Ucapku masih santai. Dampak dari ucapanmu belum
terasa.
“Gak ada, Fi. Ini sudah tekad bulat. Aku juga sudah diskusi lama
dengan diriku sendiri, pun orangtuaku.”
“Gak bisa banget, ya?”
“Gak bisa. Kalau kamu mau di Indonesia, baru aku bisa.”
Cinta dan cita memang dua hal yang sering bertentangan pun
berseberangan. Menyimpang. Sungguh klise jika dilibatkan dalam masalah
hubungan. Banyak sekali yang seperti kita: ruwet dalam permasalahan
menyearahkan cita.
“So? Do you let me go?”
“I’m so sorry. But yes.”
Saat itu, mojitoku sudah seperti minuman paling sialan semuka
bumi. Kedai itu juga sudah seperti tempat paling menjijikkan. Ah, Solo, kota
tenang yang hangat dan membahagiakan juga menjadi kota yang mungkin paling
sukar kumaafkan.
“Lantas, janji 15 tahun lagi untuk bertemu di sini lagi buat apa,
Mas?”
“Saling sapa. Mari kita lihat bagaimana 15 tahun itu membentuk
kita versi dewasa. Aku ingin lihat dan mengerti kabarmu.”
“Persetan.”
Aku pun meninggalkanmu. Pergi.
Di jalan, aku mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Bagaimana mungkin kamu tega membiarkanku pergi setelah sekian lama kita
bersama? Kali ini, cita lah yang menang.
Aku jadi berpikir, apakah setelah kamu membiarkan kupergi kamu
akan merasa bersedih? Setidaknya, rasa sedih yang kamu rasa akan kepergianku
dapat membuat perasaanku tenang. Maksudku, kesedihanmu akan aku membuatku yakin
bahwa perasaanmu padaku itu nyata. Bukan ilusi, ya kan?
Dan setahun setelah aku pergi meninggalkanmu, pun Indonesia, aku
mendapat kabarmu dari Yasmin, temanku. Katanya, kamu menikah. Nama perempuan
itu Mai.
Awalnya, aku merasa kosong saja saat mendengar hal itu. Tapi,
membayangkan Mai duduk di sampingmu, mendengar suaramu yang berat dan
menenangkan saat bercerita, menghabiskan malam bersama, rasanya sakit sekali.
Harusnya aku yang ada di sana! Bukan Mai.
Demikianlah malam-malamku di Berlin. Menyembunyikan kepala dan
kenangan di antara buku-buku. Aku hilang, tenggelam, jatuh dalam kekosongan.
Ya, setelah kamu membiarkan aku pergi.
Will be continued (15 tahun kemudian)…
Comments