Cinta & Cita: Sebuah Cerita Pendek

Terakhir kali aku melihatmu, kita sedang berada di sudut kecil warung kopi di Kota Solo. Aku yang memang tidak suka kopi, memesan mojito leci dan mencak-mencak saat tahu segelas mojito itu berdiri tegak tanpa daun mint, irisan tipis lemon, dan biji selasih. Kira-kira, racikan mojito itu hanya soda, sirop, dan es batu. Di sisi lain, ada kamu. Memesan americano yang saat kucoba pahitnya ngadubillahi. Kamu hanya terkekeh pelan.

“Sekali-kali coba yang pahit atuh, Fi. Jangan yang manis terus,” katamu. Dengan klise, aku menjawab bahwa hidup sudah pahit. Ngapain beli americano segala? 

Kamu hanya tersenyum. Lalu mengangkat segelas kopimu, menyesapnya sedikit sambil mengarahkan pandanganmu ke sekitar.

“Kalau mau ngerokok ya ngerokok aja,” kataku. Kamu menggeleng karena kamu memang bukan perokok. 

“Aku gak ngerokok.”

“Aku pengin lihat kamu ngerokok.”

“Kok gitu?”

“Lucu aja melihat kamu melakukan sesuatu yang tidak biasa kamu lakukan.”

Hmmm. Hanya kata hmmm (dengan satu h dan tiga m) yang terdengar darimu. Selanjutnya, hening lagi.

“Aku pengin kita bikin suatu janji deh, Fi.”

Ucapmu tiba-tiba. Entah janji apa, ini?

“Kita, lima belas tahun lagi, berikrar untuk bertemu di sini lagi. Di tanggal yang sama dan jam yang sama kita ketemu tadi. Catat ya. Entah apa yang terjadi di antara kita nanti, kita akan bertemu lagi di sini. Siapa tahu kita perginya bareng? Dari satu rumah, gitu.”

Aku mengheningkan cipta sejenak. Serasa ada nada pesimis dalam kalimat-kalimatmu. Seakan ada keraguan di antara diksi tersembunyi yang kau selipkan itu.

“Boleh.”

Hanya itu. Satu kata persetujuan yang sebenarnya ada banyak tanda tanya dalam kepala.

“Fi?”

“Iya, Mas?”

Hening lagi. Ada yang tersembunyi dalam kepalamu. Utarakan, aku mohon. 

Well, warung kopi itu juga sedang sepi. Tadi cukup ramai, tapi entah kenapa lebih lengang sekarang. Hanya ada suara napas kita yang terdengar.

“Kita perlu bicara tentang kita.”

Satu kalimat itu membuat hatiku berdegup kencang. Sungguh, pembicaraan tentang kita adalah topik yang mungkin kurasa terpendam lama dan tinggal menunggu bom waktu untuk meledak. Dan kataku, inilah saat bom itu meledak.

“Kita selalu berujung bercanda, Fi, saat mulai membicarakan ini. Jawaban-jawaban bercanda lah. Topik yang ngelantur ke sana ke mari lah. Gak ada kesimpulannya. Aku minta tolong kita serius bicarain ini sekarang.”

Ah, aku harus respon bagaimana, ya? 

“Ya sudah, silakan mulai dulu,” akhirnya aku berkata.

Dan topik itu lagi-lagi menyerang kita dengan sekutu-sekutunya. Mimpi, visi, misi. Rasanya kita bukan sedang menjalani cinta, tapi mencalonkan diri jadi pasangan OSIS. Tapi ya gimana? Hidup bersama butuh masa depan yang sejalan. Setidaknya searah, walau banyak persimpangan. Ini? 

Kusesap mojito sialanku sambil mendengarkan kamu mengutara.

“Aku gak bisa ninggalin Indonesia. Kalau seminggu dua minggu gak apa-apa. Tapi, aku gak bisa ngikutin mimpimu buat tinggal di Jerman sampai tua.”

“Gak ada tapi?” Ucapku masih santai. Dampak dari ucapanmu belum terasa.

“Gak ada, Fi. Ini sudah tekad bulat. Aku juga sudah diskusi lama dengan diriku sendiri, pun orangtuaku.”

“Gak bisa banget, ya?”

“Gak bisa. Kalau kamu mau di Indonesia, baru aku bisa.”

Cinta dan cita memang dua hal yang sering bertentangan pun berseberangan. Menyimpang. Sungguh klise jika dilibatkan dalam masalah hubungan. Banyak sekali yang seperti kita: ruwet dalam permasalahan menyearahkan cita.

“So? Do you let me go?”

“I’m so sorry. But yes.”

Saat itu, mojitoku sudah seperti minuman paling sialan semuka bumi. Kedai itu juga sudah seperti tempat paling menjijikkan. Ah, Solo, kota tenang yang hangat dan membahagiakan juga menjadi kota yang mungkin paling sukar kumaafkan.

“Lantas, janji 15 tahun lagi untuk bertemu di sini lagi buat apa, Mas?”

“Saling sapa. Mari kita lihat bagaimana 15 tahun itu membentuk kita versi dewasa. Aku ingin lihat dan mengerti kabarmu.”

“Persetan.”

Aku pun meninggalkanmu. Pergi.

Di jalan, aku mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin kamu tega membiarkanku pergi setelah sekian lama kita bersama? Kali ini, cita lah yang menang.

Aku jadi berpikir, apakah setelah kamu membiarkan kupergi kamu akan merasa bersedih? Setidaknya, rasa sedih yang kamu rasa akan kepergianku dapat membuat perasaanku tenang. Maksudku, kesedihanmu akan aku membuatku yakin bahwa perasaanmu padaku itu nyata. Bukan ilusi, ya kan?

Dan setahun setelah aku pergi meninggalkanmu, pun Indonesia, aku mendapat kabarmu dari Yasmin, temanku. Katanya, kamu menikah. Nama perempuan itu Mai.

Awalnya, aku merasa kosong saja saat mendengar hal itu. Tapi, membayangkan Mai duduk di sampingmu, mendengar suaramu yang berat dan menenangkan saat bercerita, menghabiskan malam bersama, rasanya sakit sekali. Harusnya aku yang ada di sana! Bukan Mai.

Demikianlah malam-malamku di Berlin. Menyembunyikan kepala dan kenangan di antara buku-buku. Aku hilang, tenggelam, jatuh dalam kekosongan. Ya, setelah kamu membiarkan aku pergi.

 

Will be continued (15 tahun kemudian)…

 

Comments

Popular Posts