Rabu dan Tiga Puisi



#1

Kasih sayang yang berat sepihak rasanya selalu menjadi problematika dalam kehidupan saya. Entah ini benar atau cuma asumsi, saya selalu jadi pihak yang terlalu mencinta, lalu dinomorduakan. Lalu apa gunanya berhubungan dengan rasa yang baru dan tetap menangis sakit setiap malam hingga dini hari? Sama saja bukan dengan cinta sepihak tempo hari?

Sakit, sakit, dan sakit.

Saya ingin dibiarkan pergi, meski akar hati saya seribu kilometer dalamnya pada dikau. Saya lelah, jadi boleh saya tutup pintu lalu lari menjauh ke sana?

Kata mereka, cinta bersaudara dengan rasa sakit serta derita? Lalu, kenapa bahagia semakin sedikit saja terasa? Saya tahu saya tidak seberharga itu untuk dicinta, tapi bisa tolong jangan semenyakitkan ini?

Sedikit demi sedikit, kau membunuh saya. Pembunuhan perlahan ini lebih sakit daripada penembakan sekali tepat di kepala. Tipis, satu persatu, kau menguliti, mencincang, mengunyah organ saya.

Tolong, jika saja tidak sayang, cepat berkata.

Tolong, jika sudah berkurang rasa cinta, cepat merela.

Karena saya dan dunia pun tahu, putri kecil dengan bahu menopang keji dunia ini butuh rasa senang yang tidak cepat kadaluarsa.

Karena telinga yang sudah menanggung sumpah serapah dan benci dari dunia ini bukan cuma mau mendengar kata maaf yang mengembang dan menghilang, lalu, begitu saja.


#2

Hai, sudah lama saya tidak menjuluki diri sebagai Rose! Bunga berduri kecintaan pangeran kecil. Bunga sakit yang ditinggalkan. Meski pangerannya nanti kembali lagi, tapi tetap saja. Rose bagi saya, adalah bunga yang melambangkan patah hati.

Jadi, selamat datang di pulau air mata dini hari! Ketika sedih menjadi rutinitas yang lama-lama terbiasa hingga lupa rasa lega akan bahagia.

Dan Rose, bunga malang itu, kembali menjadi identitas saya yang abadi. Rose, sumber inspirasi hal-hal kecil yang perlahan membuatnya mati untuk menjadi ribuan puisi.

Maaf, jika nama dikau terabadikan dalam sajak-sajak dan bait pilu. Ya salahnya, dikau buat penyair ini merasa sembilu.

Tak apa, tak usah khawatir. Saya kan punya dua tangan dengan lima jari di masing-masingnya yang bisa dengan mudah menghapus air mata: meski terus mengalir tak terkira.

 

#3

Saya terlalu mengantuk untuk menulis sajak ini. Maka, biarlah tertulis dan mengalir seperti karya seorang pemabuk sejati. Ya, anggap saya pemabuk dan pecandumu, sedang kau tidak begitu. Karena apa? Ya kan, kau sering meninggalkan saya.

Jika kau melihat esok hari, ketika saya tidak ada di sampingmu untuk menemani, maka saya rasa kau takkan menemukan rasa tiba-tiba kosong. Mungkin biasa saja sebab apa sih saya di hidupmu?

Tidak berharga. Pantas ditinggalkan. Bukan begitu?

Ting! Cheers!

Mari kita berpesta dengan bersorak merana!


Rose, 13 Juli 2023.

  

Comments

Popular Posts