JIKA TIDAK ADA BUKU DI DUNIA

Hallo comrades!

Tulisan di blogku kali ini terinspirasi dari postingan blog Sintia Astarina, Grisselda Nihardja, dan Hestia yang berisi tentang bagaimana jika tidak ada buku di dunia. Kehadiran postingan mereka membuatku berpikir dan merenung pula, seperti apa sosok Aufi kalau tidak ada buku di bumi. Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan hal ini bisa terjadi, karena efeknya pasti luar biasa, bagi Aufi maupun dunia.

Awal pertama kali aku menyukai buku adalah ketika aku sudah bisa membaca. Mungkin sudah pernah aku singgung di blogku yang berjudul Dunia Dongeng, kalau buku dongeng pertama kali yang aku baca berjudul The Crow and A Teapot. Sebenarnya, kalau diulik-ulik, kecintaanku pada dunia kata sudah ada semenjak aku belum bisa membaca. Kok bisa? Bisa. Aku sering meminta uang jajan, tapi ketika di toko yang kubeli malah buku. Buku tulis biasa sih, tapi ketika sampai di rumah, aku menyuruh kakak-kakakku untuk menuliskan apa saja di permukaannya, lalu mengajari aku kata apa yang telah mereka tuliskan.

Ayah dan ibuku sebenarnya bukan pembaca dan tidak pernah menyuruhku untuk suka membaca. Namun, pengaruh kakak-kakakku kuat sekali. Ketika aku kecil, kakak laki-lakiku pembaca dan pengoleksi komik Conan, sedangkan kakak perempuanku suka sekali membaca buku cinta-cintaan. Bayangkan, anak SD yang kehabisan buku dongeng diam-diam mencuri buku cinta-cintaan kakak perempuannya. Makanya, sekarang gedenya agak bucin.

Sekarang, koleksi bukuku sudah agak banyak dan cukup menumpuk—sampai ada yang belum sempat kebaca. Sayangnya, buku dongeng anak-anakku sudah hilang semua. Kasihan sekali, tidak ada peninggalan yang tersisa untuk adikku karena koleksi bukuku kebanyakan bertemakan filsafat, fiksi-sejarah, dan pengembangan diri. Terpaksa, harus membelikan buku-buku baru, deh (tapi belum aku beli-belikan karena egoisme diri yang terus saja membeli buku untuk diri sendiri, hehew. Tunggu remajamu aja deh, dek. Ntar baca buku-buku kakak).

 Back to the topic, bagaimana kalau eksistensi buku lenyap dari bumi?

Kayaknya Aufi bakal jadi jamet, deh.

Buku tuh seperti sudah melekat sekali dengan sosok Aufi, kamerad. Dari bagaimana aku memandang dunia ini, bagaimana aku berimajinasi, semuanya karena kehadiran buku. Buku adalah hiburan terbaikku ketika aku sedih, bahkan bahagia sekali pun. Buku adalah teman tatkala tidak ada satu pun yang peduli pada tangisan Aufi. Buku adalah psikologku yang bersedia menyediakan berbagai tips, baik cinta, kesehatan mental, maupun masalah finansial.

Sirkel pertemananku juga tercipta dari buku. Di SMP dan SMA, sirkelku yang lebih kecil dan intim berisi teman-teman yang suka berbincang tentang puisi, novel, sastra lama, dan penulis-penulis terkenal. Seru sekali, jadi rindu berbincang dengan mereka semua.

Buku juga membuatku jadi berpengetahuan luas (walaupun gak seluas itu, sih)—intinya lebih mengetahui berbagai hal di dunia. Aku sering sekali ketika menonton film atau mendengarkan suatu kata dari percakapan teman langsung terkoneksi, “Oh iya! Jadi gini…” lalu, aku pun mengeluarkan dalil-dalil; “kata buku yang pernah kubaca, ini tuh…” Seru banget tahu, berbincang dengan mencantumkan catatan kaki dan daftar pustaka, sehingga kata-kata yang kita keluarkan lebih terpercaya.

Buku juga menjadi penolongku ketika stres. Bunda, datang ke psikolog mahal banget, tahu! Buku adalah pilihan terbaikkkk  ketika kita lagi stres. Buku membuatku jadi waras. Jadi, kalau tidak ada buku di bumi, Aufi bisa jadi gila.

Tahu gak sih, yang membuatku semakin suka baca buku? Ketika ada ujian lalu artikelnya berasal dari sesuatu yang telah aku baca sebelumnya, aku jadi “OMG I LOVE YOU!” dan excited dengan ujianku. Pernah bangettt pas olimpiade terus ada pertanyaan esai yang aku jawab berdasarkan apa yang telah kubaca. Fiks, aku suka buku. Banget!

Kalau tidak ada buku, mungkin Aufi tidak akan pernah merasakan bolos pelajaran dan cabut ke perpus—lebih memilih kabur ke dunia fiksi daripada terpaksa menyumpelkan Matematika ke dalam kepala. Mungkin aku juga tidak akan pernah merasakan serunya membantu pustakawati SMA-ku untuk mengklasifikasikan buku-buku perpus sesuai Dewey. Mungkin aku juga tidak akan pernah kenal siapa itu Dewey? Bahkan, kalau tidak ada buku, tidak akan ada karya Dewey dan klasifikasinya!

Kalau tidak ada buku, mungkin aku tidak akan pernah menangis sesenggukan di kelas karena konflik dari buku yang sedang kubaca. Mungkin aku tidak akan pernah menabung uang jajan demi ke Gramedia sepulang sekolah. Mungkin aku tidak akan pernah menangis demi mendapat tambahan uang saku. Mungkin tidak akan ada kebahagian dari kehadiran “PAKETTTT” bukuku. Mungkin tidak ada omelan-omelan “BACA NOVEL TERUS” dari orangtuaku—mereka ingin aku lebih sering membaca buku mata pelajaran, padahal novel juga membantu sekali dalam kebutuhan prestasi akademikku.

Kalau tidak ada buku, mungkin aku tidak akan kenal dengan nama Pramoedya, J.K Rowling, Agatha Christie, Arthur Conan Doyle, Jostein Gaarder, Dan Brown, Eka Kurniawan, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, dan berbagai penulis lainnya. Bahkan mungkin tidak akan ada penulis!

Kalau tidak ada buku, aku tidak tahu seperti apakah Aufi versi bukan-pembaca. Kalau tidak ada buku, mungkin Aufi tidak akan berkacamata (?). Kalau tidak ada buku, yang jelas, aku akan sangat kesepian. Kalau tidak ada buku, tidak akan ada blog ini. Kalau tidak ada buku, semua kenangan akan tenggelam dan tak akan pernah terwariskan.

Kalau tidak ada buku, sosok Aufi yang comel seperti sekarang pun tiada.

Terakhir, kalau tidak ada buku, mungkin wajah Aufi akan glowing karena anggaran boros beli buku akan teralihkan ke skincare. Tapi sekarang pun sudah cukup glowing dan cantik bangettttt! Aufiii I love you more than anyone else!

Comments

Sintia Astarina said…
Aku suka banget sama paragraf terakhir! Hihihi :D
Hilma Aufiana said…
Hahaa iya😭

Popular Posts