A LETTER THAT WILL NEVER BE SENT #3
A LETTER THAT WILL NEVER BE SENT #3
Apa kabar?
Kalau Tuan bertanya balik ke saya, kabar saya baik juga. Saya baik-baik saja
tanpa Tuan, namun sekarang saya kembali lagi ke planet dingin kesedihan saya,
neptunus. Saya pernah bercerita kepada Tuan, bukan? Tentang planet yang paling
jauh dari matahari itu. Planet yang sekaligus menjadi tempat imajiner saya
tatkala sedih melanda, karena saya ingin beku di sana. Saya ingin kabur dari
bumi, saya ingin lenyap dari semesta, saya ingin jadi apapun kecuali manusia—apalagi
manusia yang mencintai Tuan. Akan tetapi, perandaian tersebut sungguh tidak
baik seperti dongeng tentang penambang batu yang pernah saya tuturkan ke Tuan
kala itu. Kala Tuan ingin diam dan mendengarkan dongeng saya saja. Aih, saya
seperti Gadis Pendongeng yang diciptakan Montgomery dan Tuan seperti Baverley
King, sang pendengar dan pengagum yang ulung.
Tuan,
pendidikan saya sekarang berjalan dengan baik sekali. Saya suka jurusan saya di
kuliah. Akan tetapi, ketika pembahasan kami berisi tentang sajak-sajak Belanda,
saya ingat lagi tentang Tuan (memang kapan saya lupa?). Saya rindu membacakan
Tuan puisi Belanda. Bisakah suatu hari saya kembali membacakan satu ke Tuan? Dengan
ucapan lebih fasih dan bagus tentunya! Saya janji untuk itu, tapi apakah Tuan
bersedia?
Namun, Tuan.
Sebelumnya, memangnya apa yang membuat kita terpisah? Mungkin pembaca kisah ini
mempertanyakannya. Kenapa dua orang yang sepertinya akan berakhir di semesta
yang sama, di level surga yang sama, di planet dan dunia yang sama, bisa
berpisah sebegitu tragisnya? Biarkan saya yang menjawab, Tuan. Tuan diam saja
karena memang kapan Tuan pernah mau berbicara tentang hal-hal yang menyangkut
kita? Abaikan saja.
Kita tidak
pernah terpisah. Lantas apa? Saya dan Tuan tidak pernah berpisah karena kita
berdua memang tidak pernah benar-benar bersama, bukan? Keindahan-keindahan
lanskap temu, romantisnya dunia masa lalu, semua itu hanya imajinasi dari buah
pikiran saya. Tuan biasa saja sebab menurut Tuan, ya memang seperti itulah
mestinya.
Baiklah, tidak
apa. Sudah sepatutnya saya patah. Sepertinya sudah seharusnya saya berhenti
membicarakan tentang Tuan, berpikir tentang Tuan, menulis surat untuk Tuan…
tapi percayalah, saya tidak bisa. Sejauh apa pun saya kabur dari bumi, terbang
ke galaksi lain, bersembunyi di semesta yang bukan ini, atau mengimajinasikan
diri menjadi pohon yang berdiam diri, saya tetap mencintai Tuan. Saya bahkan
berpikir kalau misal saya ditakdirkan menjadi pohon, mungkin saya akan menjadi
pohon yang pernah menjadi tempat Tuan berteduh. Ketika Tuan pergi, pohon ini
akan selalu merindukan Tuan untuk kembali.
Saya pernah
membaca suatu kalimat, Tuan.
“Sekali
seorang penulis mencintaimu, kamu akan abadi.”
Mungkin saya
sekarang belum menjadi penulis karena masih belum memiliki karya. Tapi, Tuan,
percayalah. Saya benar-benar ingin membuatmu abadi. Saya ingin semua hal
tentangmu melegenda, meski hanya untuk saya, segelintir orang yang menjadi
pembaca kisah kita, dan anak cucu saya.
Saya kadang
membayangkan bagaimana kalau nanti Tuan membaca surat-surat ini. Judul yang
berupa A Letter That Will Never be Sent pasti tidak akan berlaku lagi. Surat
ini sampai pada Tuan meski saya tidak mengharapkan hal itu terjadi. Kira-kira,
bagaimana ya perasaan Tuan ketika membacanya? Apakah bahagia, biasa saja, atau
malah berkicau “apaan sih” dalam hati?
Apakah Tuan? Apakah Tuan yang mengetuk jendela itu
dengan suara pelan seperti akan mengganggu tidurnya beruang padahal cuma ada
saya yang melambai sambil tersenyum karena yang ditunggu akhirnya tiba?
Apakah Tuan? Apakah Tuan yang menanam pohon ajaib
dengan daun cinta dan buah kasih sayang yang pada akhirnya mengakar di hati
saya tak pernah lepas, tak pernah hilang meski dicabut setiap hari laiknya
Pangeran Cilik menyingkirkan baobab?
Apakah Tuan? Apakah Tuan yang tetap melangkah cepat
di depan saya dengan langkah-langkah panjang sedangkan Tuan tahu saya masih di
belakang, berjalan pelan dengan langkah kecil, mengikuti Tuan dengan khawatir,
tapi Tuan bahkan tak peduli dengan gadis kecil yang sudah tertinggal jauh di
belakang ini?
Tuan, di ujung jalan itu. Di ujung jalan setepak dengan pohon-pohon cemara, semak-semak penuh bunga aster, mungilnya bunga-bunga kamomil, mekarnya anggrek di setiap juluran batang pohon, ada sebuah rumah dengan cat berwarna putih. Di halamannya ada ayunan besi bercat hijau botol. Ada mawar merah muda yang merambat di dinding-dinding pagar. Ada saya, di dalam rumah itu, merajut kain cerita dengan jarum air mata, menunggu tuannya pulang. Aih, memangnya saya rumah Tuan?!
_______________
Comments